“Kebakaran………………kebakaran……………kebakaran……………………”
“ Kebakaran, Mak.”
Aku terperanjat dan berlari. Begitu pula dengan Emak. Suara teriakan itu jelas
milik Kang Parjo, tetangga sebelahku. Namun, kebakaran itu tak tampak dari
depan rumahku.
“Kang…Kang Parjo!
Kebakarannya di mana?” Tanya Emak sambil berteriak pula. Memecah keheningan
kampung yang tak pernah ramai.
“Rumah Haji Samin,
Yu Sum.” Jawab Kang Parjo dengan teriakan pula.
Aku dan Emak
segera berlari. Kami melewati jalan setapak supaya segera sampai. Semburat
merah menyala-nyala menyembur langit seakan-akan ingin membakar seluruh
kampungku dan mengabarkan sejarah kiamat telah dimulai. Aku langsung bergabung dengan para tetangga. Begitupun
dengan Emak. Beliau membantu sekuat tenaga. Berupaya keras menghentikan amukan
api yang kian menjadi. Dan, Astagfirulloh, bukankah itu Haji Samin. Kenapa
ia tidak berlari keluar? Apa tidak sayang dengan nyawanya? batinku. semua
terlihat sangat jelas. Haji Samin meninggal dalam kondisi terbakar di dalam
rumahnya sendiri. Beberapa warga yang masih setia membantu hanya bisa melihat.
Tak ada yang berani membantu mengeluarkan Haji Samin karena dahsyatnya api.
Dua jam sudah api
itu meluluhlantakkan rumah Haji Samin, orang paling kaya dikampungku. Dan kini
tinggal puing-puingnya saja. Tak lebih. Dan Masya Allah orang di kampungku
sebagian menjadi penonton, Bahkan bibirnya telah tersirat kemenangan atas
peristiwa ini. Nauzubillah, semoga Alloh mengampuni hamba-hamba-Nya. Emak
berjalan menghampiri istri dan kedua anak Haji Samin yang berulang kali tak
sadarkan diri.
“Yang sabar Bu
Haji.” Ucap Emak. “Allah sedang menguji keluarga Bu Haji.”
“ Terima kasih ya
Sum, tapi ini bukan ujian Sum. Bukan! Tapi ini bala’ Sum. Ya, bala’ atas semua
yang telah kami lakukan!” Tandasnya. “Aku yakin, Sum, Alloh murka karena
suamiku tak pernah beramal, dan aku…..aku tak pernah mendidik anak-anakku
dengan baik. Mereka jadi sombong dan angkuh, Sum.” Air matanya deras mengalir.
Menganak sungai.
“Sum.” Istri Haji
Samin kembali membuka mulutnya. “kamu lihat kan, Sum? Hanya ada beberapa orang
yang masih mau menolongku? Mereka pasti benci dengan keluargaku, Sum.”
Lagi-lagi suaranya tersendat karena tak kuat menahan isak tangisnya.
“Sabar Bu haji.
Masih banyak warga yang peduli, mereka sedang berusaha mengeluarkan jasad Haji
Samin. Semoga beliau dirahmati Allah.” Ujar Emak pelan.
“Terima kasih ya
Sum. Tapi suamiku tak pernah beramal Sum?” jawabnya lemah. Keputusasaan sedang
bergelayut dalam jiwanya. Dan ini pastilah ulah setan yang sedang menggerogoti
keyakinan manusia pada Tuhannya.
“Bu Haji, bukankah
orang yang berhaji itu tak pernah berputus asa. Setiap langkah-langkah dalam
beribadah hanya ada keyakinan. Bukan berputus asa dari rahmat Tuhan?”
Kalimat Emak
begitu nyaman terdengar. Bukan hanya karena beliau orang yang melahirkanku,
namun kata-katanya membuat Bu Haji tersadar dan tertunduk. Berulang kali ku
lihat Bu Haji mengucapkan istigfar. “Aku nggak putus asa, Sum. Tapi…..ada
sesuatu yang kamu tak pernah rasakan.”
Emak kembali
terdiam sesaat. Beliau menitikkan air mata dan.., “Rasa yang sama-sama
kehilangan telah aku kubur bersama kematian suamiku tiga tahun yang silam.” Kenangan pahit dan manis bersama bapak telah
menyisakan sejuta makna kehidupan bagi Emak dan aku.
Tiba-tiba Bu Haji
memeluk Emak. Ada seberkas cahaya yang tersembunyi dibalik tatapannya. Ia
melangkah mendekati kedua anaknya dan merangkulnya, seperti tak akan terlepas.
Emak mengajak
mereka tinggal sementara di rumah mungil kami. Sesaat setelah jasad Haji Samin
dimakamkan. Bintang di langit kian hilang tertutup mendung yang datang tanpa
diundang, layaknya kematian dan kelahiran. Hanya ada satu perbedaan diantara
keduanya yaitu, harapan. Gerimis menyusul mengguyur asap tebal. Menghapus si
jago merah yang telah angkuh meluluhlantakkan bangunan megah, sekaligus menjadi
saksi masih ada kekuatan Tuhan dibalik setiap peristiwa. Malam kian larut
menghantarkan sejuta kepedihan dan kesenangan hamba-hamba yang taat kepada Sang
Khalik.
####################
Sudah tiga hari
ini Bu Haji dan kedua anaknya tinggal di rumahku. Seakan-akan kamilah
satu-satunya harapan. Malam ini gerimis kembali mengguyur negeriku. Aku dan
Emak masih terpekur, menengadahkan tangan, mengadukan semua kesenangan
sekaligus kepenatan yang ada kepada Sang Pencipta. Memohon rahmat-Nya supaya
tak terputus, bersama-sama gerimis yang sedang memuji-Nya. Ya, semuanya sedang
bertasbih.
Tepat pukul tiga
dini hari, aku dan Emak menuju dapur. Adonan beberapa jenis kue telah dibuat
tadi malam. Kini tinggal mencetak dan memanggangnya. Aroma kelezatannya yang
membuat pesanan kue semakin meningkat. Belum selesai mencetak kue, aku melihat
Bu Haji menghampiri Emak. Kelihatannya sudah bangun dari tadi. Memang selama
tiga hari ini tak pernah terlihat bangunnya lebih dari jam dua dini hari.
“Sum, untuk
sementara waktu, izinkan aku dan anak-anakku tinggal di sini? Aku mohon Sum?”
Ucap Bu Haji pelan.
“Bu Haji tak usah
kuatir, anggap saja ini rumah sendiri. Jadi, nggak usah sungkan. Lagi pula
rumah ini akan sepi kalau hanya dihuni aku dan Ana saja.” Jawab Emak.
“Sum, ehm…”
suaranya hamper tak terdengar lagi, “Sum,
bolehkah aku meminta tolong sekali lagi?” Tanyanya.
Kali ini justru
Emak yang diam. Mulutnya tertutup rapat.
“Sum, aku sudah
nggak punya apa-apa. Semuanya terbakar habis, bahkan pakaian yang ku kenakan
inipun milikmu. Maukah kamu menolongku sekali lagi,Sum? Hanya kamulah harapanku
satu-satunya, Sum.” Ucapnya dengan terbata-bata.
Aku sempatkan
menoleh dan menghampiri mereka. Tiba-tiba Emak memeluk Bu Haji erat sekali,
“Apa yang bisa aku lakukan untukmu Bu?”
“Aku butuh…………”
Kalimatnya
terhenti, matanya menatapku, begitu pula dengan Emak. Ada gambaran
ketidakpercayaan yang terlihat dari sudut matanya.
“Aku butuh uang.
Aku tak mungkin selamanya bergantung pada kalian. Aku harus segera melakukan
sesuatu untuk anak-anakku, mereka masih kecil, tak pantas rasanya aku membebani
hidup mereka. Kamu bisa kan, Sum, An?” Ucapnya disela-sela isaknya.
Kata-katanya
berdengung dalam pikiranku. Aku menatap Emak yang tersenyum dan mengiyakan.
Emak berjalan menuju ke kamarnya yang tak jauh dari dapur. Aku berlari menyusul
Emak dan meninggalkan Bu Haji sendirian. Emak mengambil celengan bambunya.
“Jangan, Mak!
Jangan berikan celengan itu, Mak!” Pintaku.
“Mereka lebih
membutuhkan ketimbang Emak. Ini tidak semuanya. Isinya kita bagi dua,
setengahnya tetap akan menjadi tabungan Emak untuk ibadah haji nantinya, dan
setengahnya akan kita berikan pada Bu Haji.” Jawab Emak.
“Tapi, Mak. Tiga
tahun lamanya Emak harus dengan sabar menahan semuanya demi satu keinginan
besar kan?” aku berusaha meyakinkan Emak.
“Jangan serakah,
nduk. Apa artinya haji jika tetangga sendiri tak pernah kita lihat, makan atau
tidak di hari-harinya. Apa kamu mau semua menjadi sia-sia.”
Tiba-tiba saja aku
tak memahami jalan pikirannya. Begitu mudahnya kenangan kelamnya dengan
keluarga Haji Samin terhapus. Sementara hatiku masih terasa tersiksa karena aku
belum juga mengikhlaskan semua yang terjadi atas perbudakan itu. Haruskah aku
seperti Emak yang tak pernah kenal dengan dendam dan sakit hati. Tak sedikitpun
guratan kecewa tergambar dari wajah Emak. Aku hanya berani mengintip dari balik
kelambu kamar. Dan subhanalloh, kedua orang itu berpelukan erat sekali.
Benar-benar saudara.
Tak terasa air
mataku mengalir membasahi pipiku. Aku teringat akan kisah Abdullah bin
Al-mubarak, seorang ahli hadist yang menemui Ali bin Mowaffaq, seorang tukang sepatu
dari Damaskus. Ya Allah jadikanlah Emakku termasuk orang yang ikhlas beramal
karena menolong tetanggaku, dan gantilah semua menjadi lebih baik, seperti
Engkau mengganti ibadah hajinya Ali bin Mowaffaq yang telah ikhlas memberikan
hartanya untuk makan tetangganya. Amiin.