Minggu, 03 November 2013

Haji buat Emak


                                                                            
                                                           
            “Kebakaran………………kebakaran……………kebakaran……………………”
            “ Kebakaran, Mak.” Aku terperanjat dan berlari. Begitu pula dengan Emak. Suara teriakan itu jelas milik Kang Parjo, tetangga sebelahku. Namun, kebakaran itu tak tampak dari depan rumahku.
            “Kang…Kang Parjo! Kebakarannya di mana?” Tanya Emak sambil berteriak pula. Memecah keheningan kampung yang tak pernah ramai.       
            “Rumah Haji Samin, Yu Sum.” Jawab Kang Parjo dengan teriakan pula.
            Aku dan Emak segera berlari. Kami melewati jalan setapak supaya segera sampai. Semburat merah menyala-nyala menyembur langit seakan-akan ingin membakar seluruh kampungku dan mengabarkan sejarah kiamat telah dimulai.           Aku langsung bergabung dengan para tetangga. Begitupun dengan Emak. Beliau membantu sekuat tenaga. Berupaya keras menghentikan amukan api yang kian menjadi. Dan, Astagfirulloh, bukankah itu Haji Samin. Kenapa ia tidak berlari keluar? Apa tidak sayang dengan nyawanya? batinku. semua terlihat sangat jelas. Haji Samin meninggal dalam kondisi terbakar di dalam rumahnya sendiri. Beberapa warga yang masih setia membantu hanya bisa melihat. Tak ada yang berani membantu mengeluarkan Haji Samin karena dahsyatnya api.
            Dua jam sudah api itu meluluhlantakkan rumah Haji Samin, orang paling kaya dikampungku. Dan kini tinggal puing-puingnya saja. Tak lebih. Dan Masya Allah orang di kampungku sebagian menjadi penonton, Bahkan bibirnya telah tersirat kemenangan atas peristiwa ini. Nauzubillah, semoga Alloh mengampuni hamba-hamba-Nya. Emak berjalan menghampiri istri dan kedua anak Haji Samin yang berulang kali tak sadarkan diri.
            “Yang sabar Bu Haji.” Ucap Emak. “Allah sedang menguji keluarga Bu Haji.”
            “ Terima kasih ya Sum, tapi ini bukan ujian Sum. Bukan! Tapi ini bala’ Sum. Ya, bala’ atas semua yang telah kami lakukan!” Tandasnya. “Aku yakin, Sum, Alloh murka karena suamiku tak pernah beramal, dan aku…..aku tak pernah mendidik anak-anakku dengan baik. Mereka jadi sombong dan angkuh, Sum.” Air matanya deras mengalir. Menganak sungai.
            “Sum.” Istri Haji Samin kembali membuka mulutnya. “kamu lihat kan, Sum? Hanya ada beberapa orang yang masih mau menolongku? Mereka pasti benci dengan keluargaku, Sum.” Lagi-lagi suaranya tersendat karena tak kuat menahan isak tangisnya.
            “Sabar Bu haji. Masih banyak warga yang peduli, mereka sedang berusaha mengeluarkan jasad Haji Samin. Semoga beliau dirahmati Allah.” Ujar Emak pelan.
            “Terima kasih ya Sum. Tapi suamiku tak pernah beramal Sum?” jawabnya lemah. Keputusasaan sedang bergelayut dalam jiwanya. Dan ini pastilah ulah setan yang sedang menggerogoti keyakinan manusia pada Tuhannya.
            “Bu Haji, bukankah orang yang berhaji itu tak pernah berputus asa. Setiap langkah-langkah dalam beribadah hanya ada keyakinan. Bukan berputus asa dari rahmat Tuhan?”
            Kalimat Emak begitu nyaman terdengar. Bukan hanya karena beliau orang yang melahirkanku, namun kata-katanya membuat Bu Haji tersadar dan tertunduk. Berulang kali ku lihat Bu Haji mengucapkan istigfar. “Aku nggak putus asa, Sum. Tapi…..ada sesuatu yang kamu tak pernah rasakan.”
            Emak kembali terdiam sesaat. Beliau menitikkan air mata dan.., “Rasa yang sama-sama kehilangan telah aku kubur bersama kematian suamiku tiga tahun yang silam.”  Kenangan pahit dan manis bersama bapak telah menyisakan sejuta makna kehidupan bagi Emak dan aku.
            Tiba-tiba Bu Haji memeluk Emak. Ada seberkas cahaya yang tersembunyi dibalik tatapannya. Ia melangkah mendekati kedua anaknya dan merangkulnya, seperti tak akan terlepas.
Emak mengajak mereka tinggal sementara di rumah mungil kami. Sesaat setelah jasad Haji Samin dimakamkan. Bintang di langit kian hilang tertutup mendung yang datang tanpa diundang, layaknya kematian dan kelahiran. Hanya ada satu perbedaan diantara keduanya yaitu, harapan. Gerimis menyusul mengguyur asap tebal. Menghapus si jago merah yang telah angkuh meluluhlantakkan bangunan megah, sekaligus menjadi saksi masih ada kekuatan Tuhan dibalik setiap peristiwa. Malam kian larut menghantarkan sejuta kepedihan dan kesenangan hamba-hamba yang taat kepada Sang Khalik.
                                                            ####################
            Sudah tiga hari ini Bu Haji dan kedua anaknya tinggal di rumahku. Seakan-akan kamilah satu-satunya harapan. Malam ini gerimis kembali mengguyur negeriku. Aku dan Emak masih terpekur, menengadahkan tangan, mengadukan semua kesenangan sekaligus kepenatan yang ada kepada Sang Pencipta. Memohon rahmat-Nya supaya tak terputus, bersama-sama gerimis yang sedang memuji-Nya. Ya, semuanya sedang bertasbih.
            Tepat pukul tiga dini hari, aku dan Emak menuju dapur. Adonan beberapa jenis kue telah dibuat tadi malam. Kini tinggal mencetak dan memanggangnya. Aroma kelezatannya yang membuat pesanan kue semakin meningkat. Belum selesai mencetak kue, aku melihat Bu Haji menghampiri Emak. Kelihatannya sudah bangun dari tadi. Memang selama tiga hari ini tak pernah terlihat bangunnya lebih dari jam dua dini hari.
            “Sum, untuk sementara waktu, izinkan aku dan anak-anakku tinggal di sini? Aku mohon Sum?” Ucap Bu Haji pelan.
            “Bu Haji tak usah kuatir, anggap saja ini rumah sendiri. Jadi, nggak usah sungkan. Lagi pula rumah ini akan sepi kalau hanya dihuni aku dan Ana saja.” Jawab Emak.
            “Sum, ehm…” suaranya hamper tak terdengar lagi,   “Sum, bolehkah aku meminta tolong sekali lagi?” Tanyanya.
            Kali ini justru Emak yang diam. Mulutnya tertutup rapat.
            “Sum, aku sudah nggak punya apa-apa. Semuanya terbakar habis, bahkan pakaian yang ku kenakan inipun milikmu. Maukah kamu menolongku sekali lagi,Sum? Hanya kamulah harapanku satu-satunya, Sum.” Ucapnya dengan terbata-bata.
            Aku sempatkan menoleh dan menghampiri mereka. Tiba-tiba Emak memeluk Bu Haji erat sekali, “Apa yang bisa aku lakukan untukmu Bu?”
            “Aku butuh…………”
            Kalimatnya terhenti, matanya menatapku, begitu pula dengan Emak. Ada gambaran ketidakpercayaan yang terlihat dari sudut matanya.
            “Aku butuh uang. Aku tak mungkin selamanya bergantung pada kalian. Aku harus segera melakukan sesuatu untuk anak-anakku, mereka masih kecil, tak pantas rasanya aku membebani hidup mereka. Kamu bisa kan, Sum, An?” Ucapnya disela-sela isaknya.
            Kata-katanya berdengung dalam pikiranku. Aku menatap Emak yang tersenyum dan mengiyakan. Emak berjalan menuju ke kamarnya yang tak jauh dari dapur. Aku berlari menyusul Emak dan meninggalkan Bu Haji sendirian. Emak mengambil celengan bambunya.
            “Jangan, Mak! Jangan berikan celengan itu, Mak!” Pintaku.
            “Mereka lebih membutuhkan ketimbang Emak. Ini tidak semuanya. Isinya kita bagi dua, setengahnya tetap akan menjadi tabungan Emak untuk ibadah haji nantinya, dan setengahnya akan kita berikan pada Bu Haji.” Jawab Emak.
            “Tapi, Mak. Tiga tahun lamanya Emak harus dengan sabar menahan semuanya demi satu keinginan besar kan?” aku berusaha meyakinkan Emak.
            “Jangan serakah, nduk. Apa artinya haji jika tetangga sendiri tak pernah kita lihat, makan atau tidak di hari-harinya. Apa kamu mau semua menjadi sia-sia.”
            Tiba-tiba saja aku tak memahami jalan pikirannya. Begitu mudahnya kenangan kelamnya dengan keluarga Haji Samin terhapus. Sementara hatiku masih terasa tersiksa karena aku belum juga mengikhlaskan semua yang terjadi atas perbudakan itu. Haruskah aku seperti Emak yang tak pernah kenal dengan dendam dan sakit hati. Tak sedikitpun guratan kecewa tergambar dari wajah Emak. Aku hanya berani mengintip dari balik kelambu kamar. Dan subhanalloh, kedua orang itu berpelukan erat sekali. Benar-benar saudara.
            Tak terasa air mataku mengalir membasahi pipiku. Aku teringat akan kisah Abdullah bin Al-mubarak, seorang ahli hadist yang menemui Ali bin Mowaffaq, seorang tukang sepatu dari Damaskus. Ya Allah jadikanlah Emakku termasuk orang yang ikhlas beramal karena menolong tetanggaku, dan gantilah semua menjadi lebih baik, seperti Engkau mengganti ibadah hajinya Ali bin Mowaffaq yang telah ikhlas memberikan hartanya untuk makan tetangganya. Amiin.   

Minggu, 29 September 2013

Partai Rakyat


 Partai Rakyat

Pagi yang ceria menjadi awal yang baik untuk para remaja, termasuk wiwid. Putrid sulung dari keluarga ningrat Pak Ratno. Hidup dengan menyandang keturunan darah biru tak membuat Wiwid tinggi hati ataupun angkuh. Bahkan ia tak segan-segan hadir dalam kehidupan rakyat jelata. Menski untuk bisa hadir dia harus sembunyi dari pancaran mata dan wajah garang Pak Ratno.
Bagi Pak Ratno keturunan darah biru adalah hal yang paling ia syukuri. Di luar sana banyak orang yang menginginkan keturunan itu, meski untuk menjadi keturunan darah biru tak perlu perjuangan khusus, karena keluarga itu selalu memegang teguh adat keluarga. Tapi tidak bagi Wiwid, hidup dengan status keluarga ningrat menjadikan dirinya tak berkembang. Tak akan tahu dunia yang penuh dengan sentilan-sentilan jiwanya.
“Kehidupan remaja memang harus berkembang.” Ucap Wiwid suatu hari.
“Benar tuh Wid, kita harus bisa menjadi generasi pendobrak bangsa yang nggak jelas ini!” jawab Lisa. Gadis berambut ikal yang menjadi perantara Wiwid dengan rakyat jelata. “Menurutku, Kamu lebih cepat mendapatkan dukungan ketimbang orang-orang itu Wid. Berbagai kalangan akan mudah kamu raih dengan predikat nama depanmu Wid.”
Wiwid hanya terdiam. Pikirannya menjadi lebih garang. Berselancar ke mana-mana. Baginya dengan melihat dunia luar yang penuh warna akan menjadikan warna baru bagi darahnya. Lisa semakin yakin akan keberadaan Wiwid untuk memperjelas dan menyokong penuh dirinya. Keampuhan Wiwid dalam menghipnotis orang menjadi jalan ampuh yang tak terkalahkan. Inilah dunia luar, bukan sekedar darah biru, “Selamat datang sayang”.
“Gini Wid, kalau bukan kita siapa lagi yang mau peduli dengan rakyat miskin, kumal, dekil. Kita ini generasi pembaharu Wid. Langkah kita harus mantap untuk menjadi pendobrak tradisi yang seharusnya tak ada dalam kancah kehidupan dunia. Mereka harus kita entaskan. Kemiskinan harus kita hilangkan dari muka bumi ini, supaya mereka bisa makan enak, bisa menikmati kehidupan layak.”
“Hemmm…………mmmmmm, pada dasanya aku setuju dengan idemu. Yang jadi persoalan aku belum punya massa untuk maju dalam pemilu depan.”
“Tenang Wid, masih ada waktu untuk mencari massa pendukung. Yang harus kamu lakukan partai mana yang akan kamu masuki. Apapun keputusanmu, aku akan tetap menjadi pendukung setiamu, Wid!”  senyum Lisa mulai mengembang, Membayangkan semua yang akan dilalui dengan penuh suka cita.
“Semua akan aku pertimbangkan, yang jelas harus tetap sesuai dengan tujuan awal aku terjun di dunia rakyat jelata. Coba kamu cari info lebih tentang partai yang sudah masuk verifikasi KPU kemarin.”
“Siap Bos!” jawab Lisa dengan tertawa renyah. Pikiran lisa kembali berselancar menembus waktu yang akan datang. Bayangan tentang jumlah uang yang bertumpuk-tumpuk hadir diatas meja kerjanya. Sofa yang nyaman menjadi tempat tamu yang anggun. Ruangan yang harum akan menjadi miliknya. Lisa duduk diatas sofa sambil menikmati secangkir kopi bersama klien muda yang mengundang seleranya. Wajahnya bersemu merah menatap foto besar miliknya yang ia pampang didinding ruangan.
“Hei, kok melamun. Siap nggak?”
“siap lah!” jawab Lisa tersentak, bersama dengan leburnya bayangan.
Konsferensi itu telah usai dan menghasilkan pertemuan lanjutan dengan membawa hasil informasi tentang sejumlah partai politik yang telah lolos verifikasi KPU. Wiwid pulang ke peraduannya dengan hati yang bergejolak. Seperti itulah generasi bangsa. Berangkat dengan membawa ide-ide jitu dan kembali dengan sejumlah pemikiran baru sebagai solusi atas ide-ide yang dikembangkannya.
“Baru dari pertemuan dengan Lisa, Nduuk?” Tanya Pak Ratno.
“Iya, Romo.”
“Lantas, apa yang akan kamu lakukan? Apa iya kamu tetap memutuskan untuk ikut dunia politik Nduk?”
“Iya, Romo.”
“Apa kamu tahu konsekuensi yang harus dibayar oleh para politisi di negeri kita Nduk? Apa kamu sudah memikirkan dengan sungguh-sungguh? Apa ini yang kamu harapkan dari perjuangan kuliah kamu?”
“Iya, Romo, semua sudah Wiwid pikir. Wiwid akan tetap ikut dalam pemilu ini Romo. Mohon doa restunya.”
“Wid, bukan maksud Romo untuk menahan kamu berekspresi, tapi dunia politik negeri kita itu kejam. Dunia politik negeri kita itu seperti tak pernah makan-makanan enak. Semuanya dianggap enak. Bahkan rela memakan darah saudaranya sendiri, nduk” Sang Bunda mulai ikut nimbrung. “Cobalah, kamu pikir lagi!”
“Justru karena itulah Bu, Wiwid ingin masuk ke dalamnya. Wiwid harus berani mengalahkan ego sendiri demi seluruh masyarakat. Wiwid ingin kita terbebas dari para koruptor yang tak segan mengambil hak warga kita, Bu!”
Wiwid dengan gaya diplomasinya mengajak Pak Ratno dan Bu ratno berpikir ulang. Dan mendukung sepenuhnya keinginannya untuk maju dalam pemilu legislative. Kedua orang tua yang sudah paruh baya itu terdiam menyaksikan anak sulungnya yang mampu mendebatnya persisi seperti para politisi di tipi. Keningnya berkernyit terus berpikir keras akan masa depan Wiwid si cantik yang selama ini menjadi idamannya.
Malam semakin pekat, menyemburkan aromanya ke dalam hidung setiap insane. Khas dan penuh kejutan. Hujan deras mengguyur bumi nusantara yang terkenal dengan Subur makmur loh jinawi. Pak Ratno beserta istrinya tak berani memejamkan mata. Ke khawatiran yang menderalah yang menyebabnya. Andaikan kuasa untuk menelan ingi sekali bu Ratno menelan putrid sulungnya, dan kemladi dilahirkan dalam keinginan yang berbeda.
Pagi yang sangat cerah. Perjalanan Wiwid baru saja di mulai. Dia menentukan bergabung dengan partai rakyat. Dengan pemikiran yang matang ia langkahkan kakinya menuju podium dan memulai orasinya. Bagi partai rakyat, orasi ilmiah yang menggambarkan kondisi riil sangat dibutuhkan untuk mencari massa pendukung. Kecanggihan dlam bentuk apapun tak akan mungkin dirasakan oleh semua pihak, manakala masih ada yang tersembunyi. Prinsip-prinsip dasar tentang rakyat kembali di gelontorkan untuk membngun opini public akan pentingnya keadilan bagi rakyat kecil.
Sementara itu beberapa partai jug menggunakan prinsip yang hamper sama. Mereka juga mengedepankan perjuangn dmi rakyat kecil yang selama ini masuk dalam penindasan orang-orang berdasi. Mereka mengunakan berbagi media untuk menciptakan lebih dari opini public kepada masyarakat kecil terkait pentingnya demokrasi.
Wiwid berdecak kagum melihat video orasinya. Langkahnya kian mantap untuk melanjutkan impiannya meraih kursi amanat. Bu Ratno dan Pak Ratno tak lagi terlintas. Bahkan sama sekali tak muncul bahkan dalam mimpinya. Lisa yang sedari tadi menemaninya menatap penuh dengan ambisi. Mereka tertawa renyah, renyah sekali.
“sudah kau siapkan untuk pilihan besok lusa?” Tanya Wiwid penuh selidik, “jangan kau bohongi aku Lis, aku mau engkau sendiri yang turun tangan untuk mengomando anak buah Sarni. Kamu paham kan?”
“Iya, Wid. Aku paham.”
“lakukan sebelum subuh, jangan sampai adayang tahu tentang rencana ini. dan ingat jangan menggunakan lebih dari lima orang.” Wiwid kembali duduk, “mereka harus memilihku Lis, aku sudah keluarkan uang bannyak untuk ini!”
“Iya, aku tahu.”
“Kalau ada yang bermasalah, langsung bawa kemari!” Sembari Wiwid meninggalkan ruangan.
Malam ini kembli sunyi. Wiwid tak lagi pulang ke rumah. Entah ia tidur di mana. Pak Ratno dan istrinya hanya bisa pasrah menatap jalan yang ditempuh anaknya. Dan dengan kepasrahan itulah pak ratno beserta istrinya bisa tidur nyenyak.
“Tok……………..tok……………tok……………….”
“Bu suara pintu rumah kita.” Ucap Pak Ratno kepada istrinya.
“Ada apa ya pak, kok malam-malam begini. Ayo pak kita buka barengan saja.” Bu ratno terlihat sangat panic
Kedua suami istri itu menuju pintu depan. Dibukanya pintu itu perlahan-lahan, tak ada manusia yang menyambangi mereka, hanya sebuah amplop tergeletak didepan pintu. Amplop Dibukanya amplop putih bersih. Bu ratno dan pak Ratno tak kuasa enahan air mata yang membuncah dan akhirnya menganak sungai yang tak bisa di bendung. Batinnya remuk redam melihat uang merah dua lembar dan foto anaknya. “Cuma dua ratus ribu nduk harga diri masyarakat kau beli, inikah yang kau sebut dengan generasi pendobrak. Tanah leluhur telah kau jual hanya untuk membeli nurani rakya.” Pilu hati kedua orang tua itu. Kehidupannya yang tentram terusik hanya denga kehadiran sebuah partai.



Blitar, 2 april 2013
Pukul 20.51

Stasiun Lempuyangan

Jika Blitar terbuat dari tetesan-tetesan darah para pejuang, maka Jogja tercipta dari sejuta kerinduan. Kerinduan pada keramahan...