Partai Rakyat
Pagi yang ceria menjadi awal yang
baik untuk para remaja, termasuk wiwid. Putrid sulung dari keluarga ningrat Pak
Ratno. Hidup dengan menyandang keturunan darah biru tak membuat Wiwid tinggi
hati ataupun angkuh. Bahkan ia tak segan-segan hadir dalam kehidupan rakyat
jelata. Menski untuk bisa hadir dia harus sembunyi dari pancaran mata dan wajah
garang Pak Ratno.
Bagi Pak Ratno keturunan darah biru
adalah hal yang paling ia syukuri. Di luar sana banyak orang yang menginginkan
keturunan itu, meski untuk menjadi keturunan darah biru tak perlu perjuangan
khusus, karena keluarga itu selalu memegang teguh adat keluarga. Tapi tidak
bagi Wiwid, hidup dengan status keluarga ningrat menjadikan dirinya tak
berkembang. Tak akan tahu dunia yang penuh dengan sentilan-sentilan jiwanya.
“Kehidupan remaja memang harus
berkembang.” Ucap Wiwid suatu hari.
“Benar tuh Wid, kita harus bisa
menjadi generasi pendobrak bangsa yang nggak jelas ini!” jawab Lisa. Gadis
berambut ikal yang menjadi perantara Wiwid dengan rakyat jelata. “Menurutku,
Kamu lebih cepat mendapatkan dukungan ketimbang orang-orang itu Wid. Berbagai
kalangan akan mudah kamu raih dengan predikat nama depanmu Wid.”
Wiwid hanya terdiam. Pikirannya
menjadi lebih garang. Berselancar ke mana-mana. Baginya dengan melihat dunia
luar yang penuh warna akan menjadikan warna baru bagi darahnya. Lisa semakin
yakin akan keberadaan Wiwid untuk memperjelas dan menyokong penuh dirinya.
Keampuhan Wiwid dalam menghipnotis orang menjadi jalan ampuh yang tak
terkalahkan. Inilah dunia luar, bukan sekedar darah biru, “Selamat datang
sayang”.
“Gini Wid, kalau bukan kita siapa
lagi yang mau peduli dengan rakyat miskin, kumal, dekil. Kita ini generasi
pembaharu Wid. Langkah kita harus mantap untuk menjadi pendobrak tradisi yang
seharusnya tak ada dalam kancah kehidupan dunia. Mereka harus kita entaskan.
Kemiskinan harus kita hilangkan dari muka bumi ini, supaya mereka bisa makan
enak, bisa menikmati kehidupan layak.”
“Hemmm…………mmmmmm, pada dasanya aku
setuju dengan idemu. Yang jadi persoalan aku belum punya massa untuk maju dalam
pemilu depan.”
“Tenang Wid, masih ada waktu untuk
mencari massa pendukung. Yang harus kamu lakukan partai mana yang akan kamu
masuki. Apapun keputusanmu, aku akan tetap menjadi pendukung setiamu,
Wid!” senyum Lisa mulai mengembang,
Membayangkan semua yang akan dilalui dengan penuh suka cita.
“Semua akan aku pertimbangkan, yang
jelas harus tetap sesuai dengan tujuan awal aku terjun di dunia rakyat jelata.
Coba kamu cari info lebih tentang partai yang sudah masuk verifikasi KPU
kemarin.”
“Siap Bos!” jawab Lisa dengan
tertawa renyah. Pikiran lisa kembali berselancar menembus waktu yang akan
datang. Bayangan tentang jumlah uang yang bertumpuk-tumpuk hadir diatas meja
kerjanya. Sofa yang nyaman menjadi tempat tamu yang anggun. Ruangan yang harum
akan menjadi miliknya. Lisa duduk diatas sofa sambil menikmati secangkir kopi
bersama klien muda yang mengundang seleranya. Wajahnya bersemu merah menatap
foto besar miliknya yang ia pampang didinding ruangan.
“Hei, kok melamun. Siap nggak?”
“siap lah!” jawab Lisa tersentak,
bersama dengan leburnya bayangan.
Konsferensi itu telah usai dan
menghasilkan pertemuan lanjutan dengan membawa hasil informasi tentang sejumlah
partai politik yang telah lolos verifikasi KPU. Wiwid pulang ke peraduannya
dengan hati yang bergejolak. Seperti itulah generasi bangsa. Berangkat dengan
membawa ide-ide jitu dan kembali dengan sejumlah pemikiran baru sebagai solusi
atas ide-ide yang dikembangkannya.
“Baru dari pertemuan dengan Lisa,
Nduuk?” Tanya Pak Ratno.
“Iya, Romo.”
“Lantas, apa yang akan kamu lakukan?
Apa iya kamu tetap memutuskan untuk ikut dunia politik Nduk?”
“Iya, Romo.”
“Apa kamu tahu konsekuensi yang
harus dibayar oleh para politisi di negeri kita Nduk? Apa kamu sudah memikirkan
dengan sungguh-sungguh? Apa ini yang kamu harapkan dari perjuangan kuliah
kamu?”
“Iya, Romo, semua sudah Wiwid pikir.
Wiwid akan tetap ikut dalam pemilu ini Romo. Mohon doa restunya.”
“Wid, bukan maksud Romo untuk menahan
kamu berekspresi, tapi dunia politik negeri kita itu kejam. Dunia politik
negeri kita itu seperti tak pernah makan-makanan enak. Semuanya dianggap enak.
Bahkan rela memakan darah saudaranya sendiri, nduk” Sang Bunda mulai ikut
nimbrung. “Cobalah, kamu pikir lagi!”
“Justru karena itulah Bu, Wiwid
ingin masuk ke dalamnya. Wiwid harus berani mengalahkan ego sendiri demi
seluruh masyarakat. Wiwid ingin kita terbebas dari para koruptor yang tak segan
mengambil hak warga kita, Bu!”
Wiwid dengan gaya diplomasinya
mengajak Pak Ratno dan Bu ratno berpikir ulang. Dan mendukung sepenuhnya
keinginannya untuk maju dalam pemilu legislative. Kedua orang tua yang sudah
paruh baya itu terdiam menyaksikan anak sulungnya yang mampu mendebatnya
persisi seperti para politisi di tipi. Keningnya berkernyit terus berpikir
keras akan masa depan Wiwid si cantik yang selama ini menjadi idamannya.
Malam semakin pekat, menyemburkan
aromanya ke dalam hidung setiap insane. Khas dan penuh kejutan. Hujan deras
mengguyur bumi nusantara yang terkenal dengan Subur makmur loh jinawi. Pak
Ratno beserta istrinya tak berani memejamkan mata. Ke khawatiran yang
menderalah yang menyebabnya. Andaikan kuasa untuk menelan ingi sekali bu Ratno
menelan putrid sulungnya, dan kemladi dilahirkan dalam keinginan yang berbeda.
Pagi yang sangat cerah. Perjalanan
Wiwid baru saja di mulai. Dia menentukan bergabung dengan partai rakyat. Dengan
pemikiran yang matang ia langkahkan kakinya menuju podium dan memulai orasinya.
Bagi partai rakyat, orasi ilmiah yang menggambarkan kondisi riil sangat
dibutuhkan untuk mencari massa pendukung. Kecanggihan dlam bentuk apapun tak
akan mungkin dirasakan oleh semua pihak, manakala masih ada yang tersembunyi.
Prinsip-prinsip dasar tentang rakyat kembali di gelontorkan untuk membngun
opini public akan pentingnya keadilan bagi rakyat kecil.
Sementara itu beberapa partai jug
menggunakan prinsip yang hamper sama. Mereka juga mengedepankan perjuangn dmi
rakyat kecil yang selama ini masuk dalam penindasan orang-orang berdasi. Mereka
mengunakan berbagi media untuk menciptakan lebih dari opini public kepada
masyarakat kecil terkait pentingnya demokrasi.
Wiwid berdecak kagum melihat video
orasinya. Langkahnya kian mantap untuk melanjutkan impiannya meraih kursi
amanat. Bu Ratno dan Pak Ratno tak lagi terlintas. Bahkan sama sekali tak
muncul bahkan dalam mimpinya. Lisa yang sedari tadi menemaninya menatap penuh
dengan ambisi. Mereka tertawa renyah, renyah sekali.
“sudah kau siapkan untuk pilihan
besok lusa?” Tanya Wiwid penuh selidik, “jangan kau bohongi aku Lis, aku mau
engkau sendiri yang turun tangan untuk mengomando anak buah Sarni. Kamu paham
kan?”
“Iya, Wid. Aku paham.”
“lakukan sebelum subuh, jangan
sampai adayang tahu tentang rencana ini. dan ingat jangan menggunakan lebih
dari lima orang.” Wiwid kembali duduk, “mereka harus memilihku Lis, aku sudah
keluarkan uang bannyak untuk ini!”
“Iya, aku tahu.”
“Kalau ada yang bermasalah, langsung
bawa kemari!” Sembari Wiwid meninggalkan ruangan.
Malam ini kembli sunyi. Wiwid tak
lagi pulang ke rumah. Entah ia tidur di mana. Pak Ratno dan istrinya hanya bisa
pasrah menatap jalan yang ditempuh anaknya. Dan dengan kepasrahan itulah pak
ratno beserta istrinya bisa tidur nyenyak.
“Tok……………..tok……………tok……………….”
“Bu suara pintu rumah kita.” Ucap
Pak Ratno kepada istrinya.
“Ada apa ya pak, kok malam-malam
begini. Ayo pak kita buka barengan saja.” Bu ratno terlihat sangat panic
Kedua suami istri itu menuju pintu
depan. Dibukanya pintu itu perlahan-lahan, tak ada manusia yang menyambangi
mereka, hanya sebuah amplop tergeletak didepan pintu. Amplop Dibukanya amplop
putih bersih. Bu ratno dan pak Ratno tak kuasa enahan air mata yang membuncah
dan akhirnya menganak sungai yang tak bisa di bendung. Batinnya remuk redam
melihat uang merah dua lembar dan foto anaknya. “Cuma dua ratus ribu nduk harga
diri masyarakat kau beli, inikah yang kau sebut dengan generasi pendobrak.
Tanah leluhur telah kau jual hanya untuk membeli nurani rakya.” Pilu hati kedua
orang tua itu. Kehidupannya yang tentram terusik hanya denga kehadiran sebuah
partai.
Blitar, 2 april 2013
Pukul 20.51