Minggu, 29 September 2013

Partai Rakyat


 Partai Rakyat

Pagi yang ceria menjadi awal yang baik untuk para remaja, termasuk wiwid. Putrid sulung dari keluarga ningrat Pak Ratno. Hidup dengan menyandang keturunan darah biru tak membuat Wiwid tinggi hati ataupun angkuh. Bahkan ia tak segan-segan hadir dalam kehidupan rakyat jelata. Menski untuk bisa hadir dia harus sembunyi dari pancaran mata dan wajah garang Pak Ratno.
Bagi Pak Ratno keturunan darah biru adalah hal yang paling ia syukuri. Di luar sana banyak orang yang menginginkan keturunan itu, meski untuk menjadi keturunan darah biru tak perlu perjuangan khusus, karena keluarga itu selalu memegang teguh adat keluarga. Tapi tidak bagi Wiwid, hidup dengan status keluarga ningrat menjadikan dirinya tak berkembang. Tak akan tahu dunia yang penuh dengan sentilan-sentilan jiwanya.
“Kehidupan remaja memang harus berkembang.” Ucap Wiwid suatu hari.
“Benar tuh Wid, kita harus bisa menjadi generasi pendobrak bangsa yang nggak jelas ini!” jawab Lisa. Gadis berambut ikal yang menjadi perantara Wiwid dengan rakyat jelata. “Menurutku, Kamu lebih cepat mendapatkan dukungan ketimbang orang-orang itu Wid. Berbagai kalangan akan mudah kamu raih dengan predikat nama depanmu Wid.”
Wiwid hanya terdiam. Pikirannya menjadi lebih garang. Berselancar ke mana-mana. Baginya dengan melihat dunia luar yang penuh warna akan menjadikan warna baru bagi darahnya. Lisa semakin yakin akan keberadaan Wiwid untuk memperjelas dan menyokong penuh dirinya. Keampuhan Wiwid dalam menghipnotis orang menjadi jalan ampuh yang tak terkalahkan. Inilah dunia luar, bukan sekedar darah biru, “Selamat datang sayang”.
“Gini Wid, kalau bukan kita siapa lagi yang mau peduli dengan rakyat miskin, kumal, dekil. Kita ini generasi pembaharu Wid. Langkah kita harus mantap untuk menjadi pendobrak tradisi yang seharusnya tak ada dalam kancah kehidupan dunia. Mereka harus kita entaskan. Kemiskinan harus kita hilangkan dari muka bumi ini, supaya mereka bisa makan enak, bisa menikmati kehidupan layak.”
“Hemmm…………mmmmmm, pada dasanya aku setuju dengan idemu. Yang jadi persoalan aku belum punya massa untuk maju dalam pemilu depan.”
“Tenang Wid, masih ada waktu untuk mencari massa pendukung. Yang harus kamu lakukan partai mana yang akan kamu masuki. Apapun keputusanmu, aku akan tetap menjadi pendukung setiamu, Wid!”  senyum Lisa mulai mengembang, Membayangkan semua yang akan dilalui dengan penuh suka cita.
“Semua akan aku pertimbangkan, yang jelas harus tetap sesuai dengan tujuan awal aku terjun di dunia rakyat jelata. Coba kamu cari info lebih tentang partai yang sudah masuk verifikasi KPU kemarin.”
“Siap Bos!” jawab Lisa dengan tertawa renyah. Pikiran lisa kembali berselancar menembus waktu yang akan datang. Bayangan tentang jumlah uang yang bertumpuk-tumpuk hadir diatas meja kerjanya. Sofa yang nyaman menjadi tempat tamu yang anggun. Ruangan yang harum akan menjadi miliknya. Lisa duduk diatas sofa sambil menikmati secangkir kopi bersama klien muda yang mengundang seleranya. Wajahnya bersemu merah menatap foto besar miliknya yang ia pampang didinding ruangan.
“Hei, kok melamun. Siap nggak?”
“siap lah!” jawab Lisa tersentak, bersama dengan leburnya bayangan.
Konsferensi itu telah usai dan menghasilkan pertemuan lanjutan dengan membawa hasil informasi tentang sejumlah partai politik yang telah lolos verifikasi KPU. Wiwid pulang ke peraduannya dengan hati yang bergejolak. Seperti itulah generasi bangsa. Berangkat dengan membawa ide-ide jitu dan kembali dengan sejumlah pemikiran baru sebagai solusi atas ide-ide yang dikembangkannya.
“Baru dari pertemuan dengan Lisa, Nduuk?” Tanya Pak Ratno.
“Iya, Romo.”
“Lantas, apa yang akan kamu lakukan? Apa iya kamu tetap memutuskan untuk ikut dunia politik Nduk?”
“Iya, Romo.”
“Apa kamu tahu konsekuensi yang harus dibayar oleh para politisi di negeri kita Nduk? Apa kamu sudah memikirkan dengan sungguh-sungguh? Apa ini yang kamu harapkan dari perjuangan kuliah kamu?”
“Iya, Romo, semua sudah Wiwid pikir. Wiwid akan tetap ikut dalam pemilu ini Romo. Mohon doa restunya.”
“Wid, bukan maksud Romo untuk menahan kamu berekspresi, tapi dunia politik negeri kita itu kejam. Dunia politik negeri kita itu seperti tak pernah makan-makanan enak. Semuanya dianggap enak. Bahkan rela memakan darah saudaranya sendiri, nduk” Sang Bunda mulai ikut nimbrung. “Cobalah, kamu pikir lagi!”
“Justru karena itulah Bu, Wiwid ingin masuk ke dalamnya. Wiwid harus berani mengalahkan ego sendiri demi seluruh masyarakat. Wiwid ingin kita terbebas dari para koruptor yang tak segan mengambil hak warga kita, Bu!”
Wiwid dengan gaya diplomasinya mengajak Pak Ratno dan Bu ratno berpikir ulang. Dan mendukung sepenuhnya keinginannya untuk maju dalam pemilu legislative. Kedua orang tua yang sudah paruh baya itu terdiam menyaksikan anak sulungnya yang mampu mendebatnya persisi seperti para politisi di tipi. Keningnya berkernyit terus berpikir keras akan masa depan Wiwid si cantik yang selama ini menjadi idamannya.
Malam semakin pekat, menyemburkan aromanya ke dalam hidung setiap insane. Khas dan penuh kejutan. Hujan deras mengguyur bumi nusantara yang terkenal dengan Subur makmur loh jinawi. Pak Ratno beserta istrinya tak berani memejamkan mata. Ke khawatiran yang menderalah yang menyebabnya. Andaikan kuasa untuk menelan ingi sekali bu Ratno menelan putrid sulungnya, dan kemladi dilahirkan dalam keinginan yang berbeda.
Pagi yang sangat cerah. Perjalanan Wiwid baru saja di mulai. Dia menentukan bergabung dengan partai rakyat. Dengan pemikiran yang matang ia langkahkan kakinya menuju podium dan memulai orasinya. Bagi partai rakyat, orasi ilmiah yang menggambarkan kondisi riil sangat dibutuhkan untuk mencari massa pendukung. Kecanggihan dlam bentuk apapun tak akan mungkin dirasakan oleh semua pihak, manakala masih ada yang tersembunyi. Prinsip-prinsip dasar tentang rakyat kembali di gelontorkan untuk membngun opini public akan pentingnya keadilan bagi rakyat kecil.
Sementara itu beberapa partai jug menggunakan prinsip yang hamper sama. Mereka juga mengedepankan perjuangn dmi rakyat kecil yang selama ini masuk dalam penindasan orang-orang berdasi. Mereka mengunakan berbagi media untuk menciptakan lebih dari opini public kepada masyarakat kecil terkait pentingnya demokrasi.
Wiwid berdecak kagum melihat video orasinya. Langkahnya kian mantap untuk melanjutkan impiannya meraih kursi amanat. Bu Ratno dan Pak Ratno tak lagi terlintas. Bahkan sama sekali tak muncul bahkan dalam mimpinya. Lisa yang sedari tadi menemaninya menatap penuh dengan ambisi. Mereka tertawa renyah, renyah sekali.
“sudah kau siapkan untuk pilihan besok lusa?” Tanya Wiwid penuh selidik, “jangan kau bohongi aku Lis, aku mau engkau sendiri yang turun tangan untuk mengomando anak buah Sarni. Kamu paham kan?”
“Iya, Wid. Aku paham.”
“lakukan sebelum subuh, jangan sampai adayang tahu tentang rencana ini. dan ingat jangan menggunakan lebih dari lima orang.” Wiwid kembali duduk, “mereka harus memilihku Lis, aku sudah keluarkan uang bannyak untuk ini!”
“Iya, aku tahu.”
“Kalau ada yang bermasalah, langsung bawa kemari!” Sembari Wiwid meninggalkan ruangan.
Malam ini kembli sunyi. Wiwid tak lagi pulang ke rumah. Entah ia tidur di mana. Pak Ratno dan istrinya hanya bisa pasrah menatap jalan yang ditempuh anaknya. Dan dengan kepasrahan itulah pak ratno beserta istrinya bisa tidur nyenyak.
“Tok……………..tok……………tok……………….”
“Bu suara pintu rumah kita.” Ucap Pak Ratno kepada istrinya.
“Ada apa ya pak, kok malam-malam begini. Ayo pak kita buka barengan saja.” Bu ratno terlihat sangat panic
Kedua suami istri itu menuju pintu depan. Dibukanya pintu itu perlahan-lahan, tak ada manusia yang menyambangi mereka, hanya sebuah amplop tergeletak didepan pintu. Amplop Dibukanya amplop putih bersih. Bu ratno dan pak Ratno tak kuasa enahan air mata yang membuncah dan akhirnya menganak sungai yang tak bisa di bendung. Batinnya remuk redam melihat uang merah dua lembar dan foto anaknya. “Cuma dua ratus ribu nduk harga diri masyarakat kau beli, inikah yang kau sebut dengan generasi pendobrak. Tanah leluhur telah kau jual hanya untuk membeli nurani rakya.” Pilu hati kedua orang tua itu. Kehidupannya yang tentram terusik hanya denga kehadiran sebuah partai.



Blitar, 2 april 2013
Pukul 20.51

Stasiun Lempuyangan

Jika Blitar terbuat dari tetesan-tetesan darah para pejuang, maka Jogja tercipta dari sejuta kerinduan. Kerinduan pada keramahan...