Rabu, 30 September 2015

Jalanku



Kamu bukanlah lawan mainku, Dan aku bukanlah lawan mainmu
Karena ini hanyalah soal pasir saja yang tak bisa tumbuh
Bukan soal nyawa, atau taruhan luka
Kamu bukanlah musuhku, dan aku bukanlah musuhmu
Aku hanya inginkan hakku kembali
Milikku, bukan milikmu
Aku hanya inginkan semua kembali lagi
Makan nasi dari lahanku, makan sayur dari bumiku sendiri
Sekali lagi aku hanya inginkan hakku saja

Jika hari ini aku tak tidur ditepi jalan
Bisa ku pastikan semua mata masih terpejam
Jika hari ini aku tak mau menjadi korban
Bisa kupastikan semua mulut tetap terdiam

Lihatlah kami,
Bukan aku atau bukan dia saja
Kami tak kenal pembuat kebijakan
Kami tak mengerti undang-undang
Tapi kami tahu alam
Kami tahu cara berbagi

Karena kami bukanlah pengeruk keuntungan
Kami bukanlah maling alam
Kami hanyalah butuh makan dan butuh nyaman

Minggu, 27 September 2015

Aku Bukan Wulan




“Memang cinta itu bahasa dunia, jadi tak perlu kau risau atau apalah namanya.Yang jelas semua akan baik-baik saja.”




“Jelas aku tak bisa tenang.Apa kamu pikir aku akan diterima begitu saja! Mudahnya kamu bilang, itu kan karena kamu nggak ngerasain!” cetus Resa.




Resa terlihat sangat gelisah.Urat-urat diwajahnya jelas terlihat tegang.Bahkan untuk tersenyumpun harus ditarik dengan jari milik Wulan. Suara bising Avanza silver yang mereka naiki tak ubahnya suara lebah yang siap menyengat mangsanya.




“ Kok berhenti pak?” suara resa sedikit tertahan.




“ Maaf Neng Resa, bapak pingin beli sesuatu dulu di toko.” Kata pak Slamet.




“Ah pak slamet, kenapa harus sesuatu? Kayak artis saja. Tapi jangan lama-lama ya pak.” Teriak Wulan.




Apa iya, semua akan baik-baik saja? Apa mungkin jika aku saying dan cinta semua berubah menjadi baik? Kenapa harus aku sih?Kenapa bukan Wulan saja. Aku kan kembar dengannya. Harusnya ini kami alami bersama. Tapi….ah sudahlah! Pikir resa.




“ Sa, bentar lagi ulang tahun kita lho. Kamu punya kejutan apa buatku?” Tanya wulan penasaran.




Resa hanya diam. Matanya menatap Wulan sebentar. Pikirannya kembali terbang ke tahun yang lalu, tahun di mana ia tak pernah mendapatkan kado istimewa seperti saudaranya. Menurutnya orang tuanya tidak pernah adil memperlakukan anak-anaknya.Kakak-kakaknya selalu mendapatkan hadiah saat ulang tahun yang ke berapapun, tapi tidak dengan Resa. Hanya sekarang saja ia diminta merayakan ulang tahun ke tujuh belasnya di rumah bersama teman-teman Wulan, aneh kan?




Sudah berkali-kali Resa menolak untuk pulang.Namun ayahnya bersikeras dan mengirim pak Slamet beserta Wulan menjemputnya.Resa tak berharap banyak dengan kepulangannya kali ini.Ia tahu pasti ada sesuatu yang diminta Wulan sehingga ia harus hadir dalam rapat keluarga dan hanya menjadi pendengar saja.




“ Neng Resa, kok nglamun terus dari tadi?” ujar pak Slamet memecah keheningan. Perjalanan dengan anak majikannya yang satu ini selalu membuat pak Slamet penasaran.Tak seperti saudara-saudara yang lainnya yang selalu cerewet minta cepat atau minta lewat jalan tertentu.Tapi tidak dengan Resa, pak Slamet selalu yang menentukan jalan mana yang mau dilewati.




“ Nggak nglamun kok pak. Masih lama nggak pak perjalanannya?”




“ Masih satu jam lagi Neng, apa saya perlu ngebut neng?




“ iya pak!” jawab Wulan cepat.




“ Kalau diperlambat bisa nggak pak? Barangkali lima jam lagi sampainya.” Jawab Resa.




Itulah mereka, selalu berbeda.Yang satu kerasan di rumah.Yang satu lebih memilih sekolah di Jombang.Indekos malah.Pernah suatu hari pak Slamet memergoki Neng Resa menangis di mobil waktu ayahnya memaksa untuk pulang. Dengan logat pelannya ia bercerita pada pak slamet bahwa ia tak kersan tinggal di rumah. Ia benci dengan semua yang ada di rumah itu. Dan hari ini pak slamet melihat itu di wajah Resa.




Langit sudah tampak berwarna jingga saat mobil avanza  silver memasuki halaman rumah mewah bercat merah bata. Tampak serasi sepasang suami istri yang sedang keluar dari rumah.Dirangkulnya wulan. Pemandangan ini sudah sangat sering terlihat di depan Resa. Ia maklum dengan semuanya, meski hati kecilnya berontak. Dislaminya tangan kedua orang tuanya, llu ia masuk menuju singasananya di dalam istana neeraka.




_______________#################______________________




Udara di Blitar memang terasa sangat dingin.Sama persis dengan dinginnya jiwa Resa.Ia paksakan tubuhnya untuk bangun dari tempat tidurnya. Ia adukan semua kepenatan jiwa pada sang pencipta. Ia biarkan matanya menganak sungai, menahan lelahnya perbedaan. Semuanya, ya semuanya ia adukan.




Matahari menerobos masuk ke dalam kamar Resa.Membei kehangatan sesuai janji Alloh pada hambanya yang bertakwa.Pak Johan mengetuk pintu kamar anak-anaknya.Membangunkannya dari pesona malam.Pagi ini pak johan dan bu Mariyam sudah menyiapkan menu istimewa.




“ Mana Resa, Bim? kok belum ngumpul sendiri. Panggil sana!” perintah pak johan pada Bima, kakak kedua Resa dan Wulan.




“Tahu sendirilah Resa, ayah.” Bantah Bima.




“Resa, cepetan! Sudah di tunggu nih!” teriak bu mariyam bersamaan dengan Wulan.




Dengan langkah gontai Resa berjalan menuju meja makan.Sarapan pagi yang sangat menyebalkan.Tenang Resa ini baru permulaan. Jika matahari mulai tinggi kamu akan tahu apa yang terjadi dan segera tentukan sikap secepat dan sebijak mungkin. Pikirnya.




“Sa, gimana kabarmu disana? Baik semua kan? Bu de juga baik kan?” suara Pak Johan mulai beraksi.




Resa langsung menyantap makanan yang ada.Tak dihiraukannya pertanyaan ayahnya.Bahkan ibunya sempat tegang melihat kedua orang di hadapannya.Menurutnya mereka tak pernah bisa akur jika bertemu. Sifat yang sama membuat mereka tak ada yang mau mengalah. Ikut bu de Rini adalah pilihan yang tepat menurut bu mariyam.




“ok. Resa. Ayah tahu kamu tak akan menjawab. Kali ini ayah berharap kamu setuju.ayah ingin kita berkumpul seperti dulu. Itu berarti kamu pindah lagi ke sini. Ayah harap kamu mengerti.” Kata pak Johan tegas. “oh, iya satu lagi Sa, ayah sudah telpon bud emu, besok semuanya akan di urus. Jadi kamu nggak perlu ke sana lagi!”




Seperti disambar petir.Mulut resa menganga.Mulutnya berhenti mengunyah.Lengkap sudah penderitaannya.Menjadi anak yang tak diharapkan saja sudah membuatnya sakit hati apalagidiharuskan berkumpul dengan saudaranya, Wulan.Sama artinya dengan membunuhnya pelan-pelan.




-----------------####################################------------------------




Murid-murid SMA Mandiri telah berjajar dilapangan.Seperti biasa senin telah menjadi cirri khas sekolah Indonesia untuk melaksanakan kegiatan upacara bendera. Meski seragam abu-abu putih telah ia kenakan, Resa masih tetap enggan membaur dengan yang lain.




“hai, saudaranya Wulan kan?” Tanya seorang gadis manis yang berdiri tepat di sampingnya.




“bukan, aku pembantunya.” Jawab Resa.




Semua yang mendengar terkejut dan menatap resa lekat-lekat. Jawaban itu akan membuatnya lebih nyaman ketimbang harus mengaku menjadi saudaranya Wulan. Hri pertama masuk SMU bersama Wulan membuatnya harus berhadapan dengan sejuta pasang mata.Siapa sih yang tidak kenal Wulan?Gadis cantik, cerdas sekaligus ketua OSIS.Dibutuhkan mental yang ampuh untuk bisa melepaskan diri dari cengkraman baying-bayang Wulan.




 




“Resa, kau tidak sekelas denganku, nggak pa-pa kan? Jangan khawatir di sini teman-teman ramah kok.” Mulut manis Wulan mulai beraksi. Dan itulah Wulan, di hadapan semua orang ia akan menjadi pahlawan, tapi tidak bagi Resa. Bagi Resa di saat tertentu ia akan rkam menjadi monster ganas yang siap menerkam kapanpun ia mau.




Resa bersyukur tidak sekelas dengan Wulan. Baginya, orang lain tak berhak tahu siapa dirinya. Resa adalah resa, bukan Wulan.Bukan gadis dengan sejuta prestasi, dan bukan gadis yang siap dengan bedak kemanapun.Resa yang sebenarnya hanyalah gadis biasa, yang suka makan dipinggir jalan, tertawa dan bercanda dengan siapapun.Resa memasuki kelas barunya dengan langkah tomboynya yang khas.Kini semua mata tertuju padanya.Sejuta pertanyaan dilayangkan untuknya.Resa hanya memberikan jawaban paling sederhana yang belum pernah mereka temukan. Senyuman termanis ia persembahkan kepada mereka.




Waktu berlalu perlahan namun pasti. Hari ini sengaja Resa tak mau di ajak ke kantin.Ia tak ingin dunianya diatur terlalu jauh oleh Wulan.Ia pastikan semuanya masih dalam kendalinya sendiri. Beberapa teman juga mengajak Resa, namun ia menolaknya. Ia memilih tempat yang nyaman untuknya, tanpa pedulikan orang lain. Teras kelas pilihannya. Ia pastikan kali ini hanya ingin di  depan kelas saja.




“ Hai, namaku Soni, boleh ikut duduk?”




Anggukan kepala yang Resa berikan pada laki-laki sebayanya yang sedang duduk di sebelahnya.




“Aku pastikan kau sekelas denganku, dan bangkumu ada dipojok depan, benarkan?” Tanya Resa.




Soni hanya menganggukan kepala.Sedikitpun dia tak menoleh ke arah Resa.Matanya tetap asyik menatap huruf-huruf yang ada dalam buku pegangnya.Ini tantangan pertama, pikir Resa. Otaknya berselancar untuk menemukan ide-ide gila yang selama ini bersemayam didalamnya.




“Kau rupanya kutu buku ya?Wah keren, itu berarti kau orang yang ke sepuluh yang hobi kutu buku yang ku temui hari ini. Namaku Resa, orang yang beruntung di hari pertama sekolah di sini.” Cerocos Resa. Adrenalinnya selalu muncul yang tak terduga, bahkan di saat-saat separuh hatinya masih di luar kota.




“kau tidak akan bias bicara dengannya. Percuma saja.Ia tak akan membalas setiap ucapanmu!” ucap Dewi, gadis yang pagi tadi menemui Resa di gerbang sekolah.




Resa menatap dewi dan Soni bergantian.Tantangan ini semakin meyakinkan Resa untuk sekeras mungkin menakhlukkan si kutu buku.Pengetahuan Resa tentang pelajaran Fisika tidak terlalu buruk.




“Kau rupanya menyukai Fisika ya?Memurutku Fisika tidak terlalu sulit untuk dipelajari.”




“Oh ya?Kalau gitu nanti saat ulangan nilaimu minimal harus sama denganku, gimana?”




“Hari ini ulangan!Aku kan anak baru, apa harus ikut ulangan?” ucap Resa lirih.




“Kau bilang Fisika tidak sulit, itu artinya kapanpun ulangan tidak akan berpengaruh padamu!” jawab Soni ketus.




Jawaban Soni membuat tenggorokannya tercekat.Hari pertama sekolah Resa harus beradu nilai dengan bintang kelas. Sorot matanya yang meragukan kemampuannya tak akan mampu menghilangkan rasa cinta pada Fisika luntur begitu saja. Perang akan segera dimulai. Ini akan membuat tambahan babak baru dalam hidup Resa di SMU Mutiara.




Sejarah baru saja dimulai.Bu Mimin guru Fisika telah memberikan tiga soal ulangan. Tidak perlu waktu lebih dari lima belas menit Resa selesai mengerjakan, begitu pula dengan Soni. Kertas ulangan sudah berpindah ke tangan Bu Mimin, sang eksekutor.




“Resa, menurut kamu pelajaran Fisika itu apa?” Tanya sang eksekutor disela-sela anak-anak yang lain mengerjakan soal.




“Fisika itu Cinta pertama saya, Bu.” Jawab Resa yang disusul dengan mulut koki seluruh penghuni kelas, kecuali Soni.




Tak kalah serunya jawaban sang bintang kelas saat pertanyaan yang sama Bu mimin berikan. Menurut Soni Fisika itu magnetyang di dalamnya terdapat hokum tarik-menarik dan tolak menolak.Meski begitu tak hanya Fisika yang memiliki hokum magnet, melainkan semua mata pelajaran selalu memiliki daya pikat tersendiri bagi Soni.Bahkan pelajaran Bahasa Indonesia yang super sulit bagi Resa tetap memiliki daya tarik yang luar biasa.




“Kalian memang luar biasa! Jawaban kalian berdua sempurna.” Ucap Bu Mimin jelas.




Resa tersenyum atas kemenangannya. Tak susah untuk menjadi teman Soni. Laki-laki yang terkenal tak memiliki teman itu kini jatuh tersungkur karena ucapannya sendiri.Soni berdiri dari kursi kesayangannya menuju tempat duduk Resa.Ia ulurkan tangannya dan ia ucapkan selamat atas nilai sempurnanya. Meski kecewa karena ada saingan baru, Soni tetap laki-laki hebat, karena berani mengakui kemampuan lawannya.




Rasanya ingin menghabiskan waktu hanya disekolah, praktikum ataupun di perpustakaan.Tapi suara bel yang berbunyi menandakan waktu pulang telah tiba. Keinginan untuk jauh dari para monster tak kan mungkin terlaksana. Resa sedang mengemasi seluruh buku-buku pelajarannya saat Wulan datang menghampirinya.




 













Stasiun Lempuyangan

Jika Blitar terbuat dari tetesan-tetesan darah para pejuang, maka Jogja tercipta dari sejuta kerinduan. Kerinduan pada keramahan...