(
merajuk mimpi )
“Din,
sepedamu kok jadul, alias hordok gitu lho…” celetuk Agung dengan mulut yang
mencibir. “Apa kamu nggak malu?”
“Malu!!
Mending sepedaku daripada sepedamu kan? Makanya ngaca dulu sebelum mulut
bunyi!” balasku geram.
Berulang
kali sepeda membuat hatiku kesal. Marah. Hingga persoalan-persoalan kecil apalagi yang menyangkut kebutuhan fisik,
selalu menjadikan darahku mendidih. Mau tidak mau, aku harus menyadari
keberadaanku. Aku terlahir sebagai anak kelima dari enam bersaudara dan bapakku
hanyalah seorang Pegawai Negeri Sipil alias PNS yang gajinya hanya cukup untuk
makan dan membayar tagihan selama lima belas hari.
“Sepeda
itu kan masih layak pakai, Din.” Kata emak suatu hari ketika aku protes tentang
sepeda yang sudah lima turunan itu. Aku yang merasa sudah mulai gede,
tak mampu lagi membantah suara emak. Tiap kali aku merasa malu, kata-kata
itulah yang sering kali terngiang di telingaku. Laksana mengakar dalam relung
jiwaku. Menyatu menorehkan harapan agar aku tak pernah malu.
“Beliau
itu wakil Allah, Din. Jadi apa yang beliau lakukan pasti sudah masuk ke dalam
hitungannya. Yang sabar ya?” Ujar mbak Rini tiap kali aku mengeluh tentang
keberadaan sepeda kepadanya.

Pagi ini
mendung masih bergelayut manja di dalam hatiku. Kelas 2-1 yang biasanya ramai, kini sepi sekali.
Pelajaran olah raga telah membawa anak-anak ke lapangan. Tinggallah aku sendiri
terdiam dalam sunyi setelah mendapatkan ijin untuk tidak mengikuti kegiatan
lapangan dikarenakan baru saja sembuh
dari bakteri penyebab diare. Ku tatap teman-teman yang sedang berlari
mengelilingi lapangan. Dan tanpa kusadari otakku berselancar mengingat kejadian
pagi tadi saat berangkat sekolah. Di hatiku sedang bertengger marah yang merajam. Bagaimana aku tidak marah?
Kakakku nanti dibelikan sepeda mini, gara-gara dia malu menggunakan sepeda
lama. Jujur, aku juga malu, tapi kalau emak sudah ikut berbicara, aku tak mampu
lagi berkutik bahkan dengan alasan apapun.
Pernah
suatu hari aku mengajukan kepada orang tuaku untuk membelikan sepeda. Namun,
bapak selalu mengatakan tabungan itu untuk biaya melanjutkan sekolah nanti.
Sungguh tega jika tabungan itu harus terkuras hanya untuk memenuhi rasa malu
yang diterima mbak Rini. Apa yang ada di dalam pikirannya?
“Door…,
ayo nglamun apa?” teriak Nana di samping telingaku. “tuh! Di lihat Zaki dari tadi.”
“Apaan sih?” balasku sambil melihat kelas
sebelah. Ku lihat Zaki mengalihkan pandangan.
“Din
napa nggak terima aja sih, Zaki. Kurang apa coba? Ganteng, tajir, pinter,
pokoknya banyak deh lebihnya!” ujar Nana.
“Bukan begitu Na. kamu kan tahu aku ma dia
bagaikan langit ma bumi. Dia langit sedang aku bumi. Dia bawa harley, ku
bawa….”
“Mulai
deh…terserah kamu aja, aku tak mau ikut campur.”ungkap Nana kesal.
Ada rasa lain saat Nana mengomentari kehidupan
sang selebriti SMA tempatku berteduh dari badai kedunguan. Sedikit reda rasa amarah dalam jiwaku.
Sedikit lupa tentang sepedaku. Ada rasa senang yang tiba-tiba menyelinap di
sela-sela taman hati. Namun, aku harus cepat menghancurkannya. Aku harus tetap
berpijak di bumi nan penuh dengan cerita misteri ini..
“Masuk
jeng…” ujar Andi yang terkenal play boy di sekolah.
Aku
menatap semua teman yang telah rapi di meja masing-masing tersenyum penuh
kemenangan. Ada sesuatu yang membuat kelasku terlihat nyaman, padahal sekarang
matematika sedang menanti giliran. Pesawat kertas itu jatuh tepat di meja Nana.
Terlihat ukiran tangan Surya, sang laskar cinta. Tersadar aku dari semua yang
terjadi ternyata pak Dodik tidak masuk. Tiba-tiba terdengar tepuk tangan paling
meriah di kelasku, saat sang pujangga cinta mengalirkan syair –syair yang
membuatku muak.
“Sebagai
penutup puisiku hari ini, aku ingin menunjukkan foto terbaru dari koleksiku.
Kalian boleh melihat semuanya dengan gratis..tis…tis!!!”
semua
teman-temanku maju dan mengelilingi Andi. Mereka ingin menyaksikan pada siapa
sang pujangga melabuhkan cintanya yang kesekian kali. Aku tetap tak bergeming
dari tempat dudukku. Dari tangan Andi terlihat foto dengan ukuran 10 R.
“Tenang
teman-teman, hari ini semua boleh lihat kok.”ujar Andi.
Tiba-tiba
terdengarlah gelegar tawa renyah dari teman-teman yang di depan. Semua mata
beralih menatapku. Aneh. Seperti tak pernah lihat aku saja. Dengan wajah muram,
Nana memberitahuku tentang foto itu. Mataku terbelalak tajam tak percaya.
Dengan gerakan yang terlatih aku menghampiri Andi. Tak sia-sia selama ini aku
belajar karate. Kemarahan dari pagi tak bisa ku bendung. Ku rebut foto itu dan
ku robek-robek hingga membentuk butiran-butiran salju yang jatuh mengelilingi
gunung Jaya Wijaya.
“Gila kamu ya! Apa belum puas selama ini
kamu menghina aku, maumu apa sih?? Kurang kerjaan. Dasar orang aneh. Ingat ya macam-macam lagi ma aku. Awas
lho!!” cerocosku.
“Siapa
takut?” balas Andi dengan wajah yang amat menyebalkan.
Dengan
gerakan yang tak terkendali ku cengkeram krah baju Andi. Ingin ku telan dia
bulat-bulat. Aku seperti elang buas yang tak pernah takut dengan siapa yang
dihadapi. Ingin ku bawa ia
terbang dan ku hempaskan ke bumi. Aku muak dengan perseteruan ini.
“Din…Dina….sabar..sudah..lepaskan!”
perintah Farhan sang penanggung jawab
kelas. Ia selalu berpura-pura untuk bijaksana, padahal ia selalu membela yang
berduit.
Nana
berusaha menarikku untuk melepaskan cengkeraman tanganku. Namun, aku masih
bertahan dengan sejuta kekuatan yang tersisa. Berulang kali ku dengar suara
teman-teman menentramkan suasana. Hingga seperti ceracauan burung. Telingaku
benar-benar telah tertutup.
“sekali
lagi kamu membuat ulah, awas! Aku tak main-main! Semua hinaanmu itu bukan kesalahanku!!. Tanya sama Tuhan
sana!! Apa aku salah jika aku tak punya seperti yang kamu miliki? Atau aku juga salah karena aku harus lahir
ke bumi? Jawab!!!” teriakku
“Gubraaak…..!!!”
tangan kiriku memukul meja Risa, sementara tangan kananku tetap memegangi baju
Andi. Semua ini wujud
kekesalanku selama ini. Ku lihat mata Andi terbelalak. Selama ini mereka lupa
bahwa aku diam bukan karena aku tidak marah, tapi aku seperti bom yang siap
meledak kapan saja dan dimana saja. Mulutnya menganga, seakan-akan ia melihat pemandangan aneh. Dan “aku tak
percaya” gumamnya.
“Din, sudahlah..jangan kau hiraukan dia.
Din aku mohon, lepaskan dia, kita duduk.” Ucap Nana lembut sekali, seperti air
gemericik yang mampu menerapi setiap manusia yang menghampirinya.
Hanya dia yang mampu menghargai setiap
keputusan yang telah terjadi dengan bijaksana. Hidup sederhana dan apa adanya telah menjadikannya
mampu mengatur semua. Beda dengan yang lain. Mereka menganggapku seperti batu
yang siap dilempar kemanapun mereka suka, atau bahkan mereka menganggapku
seperti sampah kelas. Aku akui di kelasku
terlihat jelas kesenjangannya. Hampir semuanya siap dengan materi. Hanya
aku saja yang kesasar menerobos masuk melewati garis finis lebih dulu
sehingga aku terpasung pada kurikulum kelas unggulan tanpa biaya.
“Sory
Din, aku salah. Kupikir kamu tak kan bisa marah? Sory tadi hanya becanda.” Ujar Andi.
Nana
berusaha keras membantu Andi melepaskan cengkeramanku. Dan akhirnya terbebaslah
ia dari cakar elangku yang siap memangsa. Aku dituntun Nana kembali ke tempat
dudukku. Kelasku benar-benar hening. Tak lagi terdengar suara canda maupun tawa
.hanya sesekali terdengar teriakan dari kelas lain yang sedang belajar. Semuanya sibuk membuka
lembaran-lembaran kertas yang membuatku semakin muak untuk bertahan di kelas.
Hingga belpun terdengar tanda pelajaran berakhir.
Kukayuh
sepeda dan kurenungi semua yang terjadi hari ini. Arogan sekali perlakuanku.
Begitu tegakah aku terhadap teman-temanku. Aku, perempuan berjilbab berani
melakukan kekerasan. Masya Allah syetan apa yang telah meracuni jiwaku? Tapi, apa salahku? Bukan aku yang
menginginkan untuk dilahirkan dalam kondisi seperti ini. Sungguh aku tak pernah
memohon tentang kemiskinan dalam hidupku! Pikirku.
Pikiranku bermain sendiri menelusuri
lekuk-lekuk korteks. Mengembara pada foto yang ku robek tadi. Sungguh aku tak
percaya dengan apa yang ku lihat tadi. Aku sedang naik sepeda ada dalam cetakan dan berada di tangan Andi, sungguh
sangat memalukan. Perlahan namun pasti telah membuat dua roda sepedaku bergerak
dan melaju menuju peraduanku. Sesampai di rumah segera kuambil air putih untuk
melegakan tenggorokan yang protes dan ku masukkan makanan seadanya sebagai
pengusir lapar dan mengantarkan aku untuk menikmati ibadah sekaligus tidur.
Kejengkelanku
belum juga berakhir. Ketika matahari mulai menampakkan warna kekuningan,
kudengar suara bapak memanggil mbak Rini untuk melihat sepeda barunya. Hingga
kusengaja menghabiskan waktu di dalam ruangan tiga meter persegi ini. Kukunci
dan kuhempaskan badanku di atas dipan, kubiarkan otak dan hatiku bercengkrama
dan saling beradu argumentasai memecahkan persoalan yang sedang terjadi.
Sesekali aku keluar hanya untuk makan dan mengambil air wudlu, bahkan badanku
yang bau keringatpun tak kuhiraukan lagi.
Rupa-rupanya
siang beranjak meninggalkan nusantara ini, berganti dengan malam. Suara alampun
mulai terdengar, menyeruak dari balik dedaunan yang tertiup angin. Aku masih
saja menikmati kesendirian dengan memandang bintang di langit yang sedang
gemerlapan melalui jendela mungil kamarku. Hingga aku terbuai dalam mimpi.
Hembusan
angin tengah malam sengaja membangunkanku. Kulaporkan lagi kejadian kemarin siang kepada sang Pencipta, dengan
segenap keyakinanku, meskipun sudah lima kali lebih aku mengadu dengan tumpahan
air mata. Tak apa ini adalah sebuah waktu yang tepat untukku mengutarakan
semuanya. Kupasrahkan semuanya dan aku percaya pasti ini yang terbaik untukku.
Di sepertiga malam yang hening ini telah menjadi saksi sejarah pertemuanku
dengan sang Penguasa Alam.
“Din,
subuh, sholat sekalian.” Ujar emak dari balik pintu.
“Iya”
balasku.
Kulakukan
aktivitas pagi ini dengan penuh kepasrahan dan keikhlasan. Akan aku sambut hari
ini dengan senyum terindahku bukan kritikan karena aku yakin alam akan
menyambutku dengan sinarnya yang terang. Tepat pukul enam lebih tigapuluh menit
aku berangkat menuju SMA tempatku mencari pencerahan pikiran dan badan. Aku tak
akan lagi berangan-angan tentang waktu yang penuh sesak, karena jika aku butuh,
aku harus meluangkannya.
Aku
bahagia dengan keseharianku pasca perang dengan Andi lusa kemarin. Pasalnya tak
ada lagi yang berani menggangguku. Inilah duniaku, penuh dengan kemerdekaan.
Aku bukan budak yang bisa dijualbelikan. Aku manusia yang butuh dihargai dan
dihormati. Hingga hari keempat ini aku merasa ada kemenangan. Namun….. ‘Din, nyadar nggak? kalo Andi udah
tiga hari ini nggak masuk? Jangan-jangan karena kasusmu kemarin?” Tanya Nana
“Bukan
urusanku, Na.” balasku cuek.
“Iya
sih, tapi kok nggak ada surat izin ya?”
Tiba-tiba
terdengar suara Farhan sang eksekutor kelas pidato di depan ketika jam
istirahat.
“Teman-teman,
sudah tiga hari ni si Andi nggak masuk sekolah. Dia sedang terbaring di rumah
sakit. Aku pribadi berharap temen-temen menjenguknya, sendiri atau bersama
sebagai wujud kepedulian kita.”
“Sakit
pa Han?” tanya Risa.
“Dia…hem hem….dia……”
“Dia
kenapa? Muntaber? Sekarang
kan lagi musim, ya kan temen-temen?” ucap Risa penasaran.
“Nggak,
dia mencoba melakukan bunuh diri dengan minum racun serangga, dan tolong
usahakan ini kita saja yang tahu!!”
Ku
lihat teman-teman saling berbisik dan sesekali terdengar usul dari mereka. Aku
sendiri merasa tak bingung dengan kondisi Andi. Senang atau tidak dengan
kondisinya sekarang? Aku tak tahu, yang jelas aku sudah kenal dia lebih dulu
daripada teman yang lain. Mungkin ini jalan yang terbaik untuk memperbaiki
hubunganku dengannya, bisik batinku.
“Barangkali
kau punya usul, Din?” Tanya Farhan.
Aku
hanya menggelengkan kepala. Akupun tak yakin itu pertanyaan tulus yang keluar
dari mulutnya, barangkali itu hanya sebuah basa-basi sebagai pengacau ruangan
supaya tak terlalu tegang. Ingin
aku keluar dari kelas dan menikmati angin ini sendirian. Namun, naluriku
berkata aku harus mulai terbuka dengan teman-teman di sini. Mereka akan tetap
menjadi bagian dalam sejarah hidupku kelak.
“Gimana
kalo kita jenguk rame-rame, biar dia tak merasa sepi, trus kita agak lama
dikit. Atau gentian beberapa temen hari ini, dan beberapa temen yang lain
besok.” Usul Nana.
“Setujuuuu…..”
suara penghuni kelas 2-1 terdengar kompak sekali.
“
Ok…kita bagi tiga kelompok, kelompok pertama ntar pulang sekolah aku, Aris,
Agung, Nana, Dina dan Risa jenguk hari ini. Trus kalian bisa bagi lagi jadi dua
kelompok untuk besok dan lusa.”
Terdengar suara teman-teman yang sedang
memilih kelompok. Belum sempat aku beranjak, bel masukpun nyaring terdengar di
seantero sekolah. Bertemu juga akhirnya dengan Bu Ninik, sang eksekutor kelas.
Apapun pelajarannya, Bu Niniklah yang menentukan untuk lanjut atau berhenti
sebentar alias tidak naik kelas. Nasehat demi nasehat meluncur dari bibir
mungil sang guru cantik ini. Tak pernah kami bosan mendengarnya. Pelajaran
biologi yang sulit, disulapnya menjadi pelajaran yang paling digandrungi
oleh semua siswa. Dua jam pelajaran menjadi tak terasa. Serasa ingin
bersamanya.
Hari-hari
telah merubah setiap insan menjadi hamba yang lebih baik. Meraih setiap mimpi.
Menerobos celah-celah bumi belahan lain. Menciptakan pertambahan neurit dan
dendrite yang sedemikian pesat, hingga kelasku tak pernah mendengar kata-kata
cacian seperti dungu dan bodoh. Laksana ksatria, aku menunggu bel pulang hari
ini. Apapun yang akan terjadi nanti itu adalah campur tangan manusia dengan
sang Pencipta. Aku hanya berusaha, Allah yang menentukan jua. Ku mantapkan hati
untuk menjenguk Andi di rumah sakit.
“Din,
sepedamu dititipkan di rumah depan ja, kita boncengan pake motorku. Nggak pa-pa
kan?” Nana menawarkan diri bersamaku.
Aku
hanya menganggukkan kepala seraya merapikan semua buku di atas meja. Aku sudah
bertekad untuk tidak mencampuradukkan persoalan apapun ke dalam wilayah
kurikulum kelas. Aku harus bisa mengontrol diri sendiri..
Perjalanan
ke rumah sakit tak membutuhkan waktu lama. Sepuluh menit dari sekolah sudah
sampai di tempat parkir rumah sakit Mardi Waluyo. Teman-teman berjalan
beriringan menyusuri koridor yang menghubungkan tempat lobi dengan kamar anggrek
nomor dua. Sesekali terdengar canda dan tawa sebagai pelepas letih setelah
seharian berkutat dengan bangku dan kursi di kelas.
“Assalamu’alaikum”
sapa Farhan pada seorang perempuan cantik. Sepertinya beliau belum terlalu tua.
Bahkan dibandingkan dengan emakku kelihatan lebih muda ibu ini. Ah..jadi ingat
dengan emak.
Balasan
lembut nan merdu terdengar dari perempuan paruh baya itu. “Wa’alaikumsalam.
Teman sekolah Andi?”
“Iya,
bu” jawab kami bersamaan.
“Masuk
saja, sudah sadar kok. Tadi malam sadarnya, hari ini sudah diperbolehkan untuk dijenguk.”
Cerita si ibu. Terlihat roman mukanya yang kecapekan.
Kami
hanya tersenyum dan mengangguk, serta melangkahkan kaki menuju kamar tempat
Andi dirawat.
“Assalamua’alaikum”
“Waalaikum
salam, hai…”balas Andi sambil menunjukkan sedikit gigi putihnya.
“Gimana
kondisimu Ndi?” Tanya Farhan.
“Sudah
lebih baik sih, tapi kaki dan tanganku masih lemas. Tinggal mengembalikan tenaga ja kok. Temen-temen
pa kabarnya?” balas Andi.
“Alhamdulillah
baik, kamu ditunggu temen-temen buat melaksanakan rencana kemarin lho..” ujar
Risa.
Suasana
semakin mencair. Ketegangan antara aku dan Andi yang terjadi di kamar putih ini
semakin lama semakin berkurang meskipun aku tak pernah menimpali semua
ucapannya. Kebisuan telah menjadi saksi bahwa sesungguhnya di dalam lubuk
hatiku tersimpan rasa kemanusiaan yang tinggi. Dengan pengemis saja aku bisa
kasihan, apalagi dengan dia temanku sendiri, batinku.
Aku
terperanjat saat ku tatap foto sepedaku terpampang di samping tempat tidurnya.
Aku tak bisa menyembunyikan rasa keterkejutanku, hingga mulutku membentuk huruf
O besar. Nana yang melihat aku bengong langsung menginjak kaki kiriku yang
berada di sebelahnya.
“Sory,
Din, aku nggak minta izin kamu untuk memotret sepeda, ya..karena aku takut aja
kamu pasti nggak bakal memberi izin. Iya kan?” ucap Andi sambil melihatku.
“I…iya
nggak pa-pa.” balasku.
“Tumben
kamu baik ma aku, Din. Biasanya juga langsung konser he…..he…….”
“Oh..jadi
nggak mau nih aku baik. Mau aku tonjok!!”
“ya
nggaklah, mentang-mentang jago karate, trus mau nonjok aku yang sudah terkapar
nih…,tapi nggak pa-pa deh, toh keluargaku tak da yang peduli lagi kok” balas
Andi.
“Cemen
lho…semua orang tu pasti punya masalah, nggak da Ndi orang yang nggak pernah ada masalah, justru
dari sini kita bisa belajar banyak. Ibarat permainan sepak bola kita harus
mencetak gol disertai bermain yang bagus, dan yang harus kita ingat ada yang
masuk dan ada yang keluar.”
“Ya
bu guru kami sudah mengerti” ungkap Andi disertai tawa dari teman-teman yang
ikut menjenguk.” Jadi kita baikan nih??”
“Dari
dulu aku kan baik he…he…”balasku nyengir.
“Din,
kamu tahu nggak kenapa aku ngefans banget ma sepedamu?” Tanya Andi.
Dengan
mantap aku jawab, “aku tidak tahu sama sekali, percaya deh, sepeda tu sudah
amat membuatku bosan.”
“Din,
aku saluut banget ma sepedamu, setiap hari mengantarmu dari rumah ke sekolah,
trus beralih menuju kegiatan lain. Tahu nggak? Sepedamu itu telah memberi
inspirasi terbesar dalam hidupku. Berkali-kali aku jatuh tersungkur, aku bisa
bangkit lagi karena aku melihat semangatmu bersama sepedamu itu. Andaikan
sepeda itu bisa bicara mungkin ia akan berkisah tentang kamu, kegiatan kamu,
sodara-sodara kamu, keluargamu yang utuh, dan banyak hal. Aku selalu iri saat melihatmu bisa santai naik
sepeda tapi tetap prestasi tertinggi. Aku dengan seabrek les dan lain
sebagainya tetap nomor akhir. Dari SMP hingga SMA aku tetap tak bisa mengalahkanmu dalam segala hal.
Bahkan keluargakupun tak pernah bisa diharapkan lagi. Kamu benar-benar
beruntung, sungguh banyak hal yang membuat aku ingin lari.”
Kami
semua terdiam mendengarkan Andi berbicara. Hanya sesekali kami menimpalinya.
Hari yang semakin siang mengantarkanku merenungi banyak hal. Tentang diriku,
tentang Andi, tentang teman-teman sekaligus tentang sepedaku.
“Teman-teman,
makasih atas kepedulianmu. Semoga
ini tak sia-sia.” Ujar Andi.
“Semua
ini akan lebih sia-sia lagi jika setelah keluar dari sini, kamu minum obat
nyamuk lagi, sekaligus selamat tinggal. Beruntunglah hari ini karna masih banyak yang peduli.” Balas Farhan yang
diiyakan teman-teman.
Kebersamaan
itu menciptakan banyak hal, diantaranya kekuatan. Hal itu yang ku lihat dari
binar mata Andi, teman-teman sekaligus aku sendiri. Aku berjanji aku tak akan
melupakan kenangan-kenangan yang terukir indah selama di sekolah. Benar kata
pepatah, masa-masa paling indah, masa-masa di sekolah.
“Maaf
ya Ndi, kami harus pulang. Insya Allah kalo da waktu senggang ke sini lagi.”
Pamit Farhan.
“Jangan
ke sini, Han. Kapok aku. Gini aja ya Ndi, besok kita ketemu di sekolah.”
Ucapku.
Semua
terbengong-bengong dan langsung disertai tawa yang renyah. Tak ada lagi perbedaan diantara kita.
Ternyata kita semua sama. Kami berpamitan kepada orang tuanya. Langkahku terasa
ringan sekali. Perjalanan pulang diiringi dengan canda telah benar-benar
menghancurkan karang yang bertengger di hatiku.
“Din,
kami semua sayang lho ma kamu. Jangan pernah menganggap kami berbeda ya?” ujar
Risa saat kami berpisah menuju ke peraduan masing-masing.
Aku tersenyum sambil mengangguk. Betapa
bahagianya aku hari ini. Ku
kayuh sepeda renta ini perlahan-lahan namun pasti. Mentari cerah tak menyisakan
mendung sedikit pun, sama seperti hatiku. Ternyata semua prasangkaku itu salah
besar. Sayup-sayup terdengar lagu merdu dari rumah warga yang ku lewati…………
Syukuri
apa yang ada
Hidup
adalah anugerah
Tetap
jalani hidup ini
Melakukan
yang terbaik….
Kini aku benar-benar ada diantara mereka.
Tak perlu ragu dan bimbang karena itu nyata. Sesekali aku bersenandung sambil
mengenang semua yang terjadi. Aku harus terus berjuang mengapai mimpi. Membuat
semua yang melihatku bangga. Dan aku tetap akan menjadi diri sendiri bukan
orang lain. Dan satu hal yang harus aku ingat manusia tak kan mendahului
takdir.
By: lilik
nuktihana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar