Senin, 14 April 2014

Pesona Sang Hordok



( merajuk mimpi )
            “Din, sepedamu kok jadul, alias hordok gitu lho…” celetuk Agung dengan mulut yang mencibir. “Apa kamu nggak malu?”
            “Malu!! Mending sepedaku daripada sepedamu kan? Makanya ngaca dulu sebelum mulut bunyi!” balasku geram.
            Berulang kali sepeda membuat hatiku kesal. Marah. Hingga persoalan-persoalan kecil  apalagi yang menyangkut kebutuhan fisik, selalu menjadikan darahku mendidih. Mau tidak mau, aku harus menyadari keberadaanku. Aku terlahir sebagai anak kelima dari enam bersaudara dan bapakku hanyalah seorang Pegawai Negeri Sipil alias PNS yang gajinya hanya cukup untuk makan dan membayar tagihan selama lima belas hari.
            “Sepeda itu kan masih layak pakai, Din.” Kata emak suatu hari ketika aku protes tentang sepeda yang sudah lima turunan itu. Aku yang merasa sudah mulai gede, tak mampu lagi membantah suara emak. Tiap kali aku merasa malu, kata-kata itulah yang sering kali terngiang di telingaku. Laksana mengakar dalam relung jiwaku. Menyatu menorehkan harapan agar aku tak pernah malu.
            “Beliau itu wakil Allah, Din. Jadi apa yang beliau lakukan pasti sudah masuk ke dalam hitungannya. Yang sabar ya?” Ujar mbak Rini tiap kali aku mengeluh tentang keberadaan sepeda kepadanya.
            Pagi ini  mendung masih bergelayut manja di dalam hatiku. Kelas 2-1 yang biasanya ramai, kini sepi sekali. Pelajaran olah raga telah membawa anak-anak ke lapangan. Tinggallah aku sendiri terdiam dalam sunyi setelah mendapatkan ijin untuk tidak mengikuti kegiatan lapangan  dikarenakan baru saja sembuh dari bakteri penyebab diare. Ku tatap teman-teman yang sedang berlari mengelilingi lapangan. Dan tanpa kusadari otakku berselancar mengingat kejadian pagi tadi saat berangkat sekolah. Di hatiku sedang bertengger marah yang merajam. Bagaimana aku tidak marah? Kakakku nanti dibelikan sepeda mini, gara-gara dia malu menggunakan sepeda lama. Jujur, aku juga malu, tapi kalau emak sudah ikut berbicara, aku tak mampu lagi berkutik bahkan dengan alasan apapun.
            Pernah suatu hari aku mengajukan kepada orang tuaku untuk membelikan sepeda. Namun, bapak selalu mengatakan tabungan itu untuk biaya melanjutkan sekolah nanti. Sungguh tega jika tabungan itu harus terkuras hanya untuk memenuhi rasa malu yang diterima mbak Rini. Apa yang ada di dalam pikirannya?
            “Door…, ayo nglamun apa?” teriak Nana di samping telingaku. “tuh! Di lihat Zaki dari tadi.”
            “Apaan sih?” balasku sambil melihat kelas sebelah. Ku lihat Zaki mengalihkan pandangan.
            “Din napa nggak terima aja sih, Zaki. Kurang apa coba? Ganteng, tajir, pinter, pokoknya banyak deh lebihnya!” ujar Nana.
            “Bukan begitu Na. kamu kan tahu aku ma dia bagaikan langit ma bumi. Dia langit sedang aku bumi. Dia bawa harley, ku bawa….”
            “Mulai deh…terserah kamu aja, aku tak mau ikut campur.”ungkap Nana kesal.
            Ada rasa lain saat Nana mengomentari kehidupan sang selebriti SMA tempatku berteduh dari badai kedunguan. Sedikit reda rasa amarah dalam jiwaku. Sedikit lupa tentang sepedaku. Ada rasa senang yang tiba-tiba menyelinap di sela-sela taman hati. Namun, aku harus cepat menghancurkannya. Aku harus tetap berpijak di bumi nan penuh dengan cerita misteri ini..
            “Masuk jeng…” ujar Andi yang terkenal play boy di sekolah.
            Aku menatap semua teman yang telah rapi di meja masing-masing tersenyum penuh kemenangan. Ada sesuatu yang membuat kelasku terlihat nyaman, padahal sekarang matematika sedang menanti giliran. Pesawat kertas itu jatuh tepat di meja Nana. Terlihat ukiran tangan Surya, sang laskar cinta. Tersadar aku dari semua yang terjadi ternyata pak Dodik tidak masuk. Tiba-tiba terdengar tepuk tangan paling meriah di kelasku, saat sang pujangga cinta mengalirkan syair –syair yang membuatku muak.
            “Sebagai penutup puisiku hari ini, aku ingin menunjukkan foto terbaru dari koleksiku. Kalian boleh melihat semuanya dengan gratis..tis…tis!!!”
            semua teman-temanku maju dan mengelilingi Andi. Mereka ingin menyaksikan pada siapa sang pujangga melabuhkan cintanya yang kesekian kali. Aku tetap tak bergeming dari tempat dudukku. Dari tangan Andi terlihat foto dengan ukuran 10 R.
            “Tenang teman-teman, hari ini semua boleh lihat kok.”ujar Andi.
            Tiba-tiba terdengarlah gelegar tawa renyah dari teman-teman yang di depan. Semua mata beralih menatapku. Aneh. Seperti tak pernah lihat aku saja. Dengan wajah muram, Nana memberitahuku tentang foto itu. Mataku terbelalak tajam tak percaya. Dengan gerakan yang terlatih aku menghampiri Andi. Tak sia-sia selama ini aku belajar karate. Kemarahan dari pagi tak bisa ku bendung. Ku rebut foto itu dan ku robek-robek hingga membentuk butiran-butiran salju yang jatuh mengelilingi gunung Jaya Wijaya.
            “Gila kamu ya! Apa belum puas selama ini kamu menghina aku, maumu apa sih?? Kurang kerjaan. Dasar orang aneh. Ingat ya macam-macam lagi ma aku. Awas lho!!” cerocosku.
            “Siapa takut?” balas Andi dengan wajah yang amat menyebalkan.
            Dengan gerakan yang tak terkendali ku cengkeram krah baju Andi. Ingin ku telan dia bulat-bulat. Aku seperti elang buas yang tak pernah takut dengan siapa yang dihadapi. Ingin ku bawa ia terbang dan ku hempaskan ke bumi. Aku muak dengan perseteruan ini.
            “Din…Dina….sabar..sudah..lepaskan!” perintah  Farhan sang penanggung jawab kelas. Ia selalu berpura-pura untuk bijaksana, padahal ia selalu membela yang berduit.
            Nana berusaha menarikku untuk melepaskan cengkeraman tanganku. Namun, aku masih bertahan dengan sejuta kekuatan yang tersisa. Berulang kali ku dengar suara teman-teman menentramkan suasana. Hingga seperti ceracauan burung. Telingaku benar-benar telah tertutup.
            “sekali lagi kamu membuat ulah, awas! Aku tak main-main! Semua hinaanmu itu bukan kesalahanku!!. Tanya sama Tuhan sana!! Apa aku salah jika aku tak punya seperti yang kamu miliki? Atau aku juga salah karena aku harus lahir ke bumi? Jawab!!!” teriakku
            “Gubraaak…..!!!” tangan kiriku memukul meja Risa, sementara tangan kananku tetap memegangi baju Andi. Semua ini wujud kekesalanku selama ini. Ku lihat mata Andi terbelalak. Selama ini mereka lupa bahwa aku diam bukan karena aku tidak marah, tapi aku seperti bom yang siap meledak kapan saja dan dimana saja. Mulutnya menganga, seakan-akan ia melihat pemandangan aneh. Dan “aku tak percaya” gumamnya.
            “Din, sudahlah..jangan kau hiraukan dia. Din aku mohon, lepaskan dia, kita duduk.” Ucap Nana lembut sekali, seperti air gemericik yang mampu menerapi setiap manusia yang menghampirinya.
             Hanya dia yang mampu menghargai setiap keputusan yang telah terjadi dengan bijaksana. Hidup sederhana dan apa adanya telah menjadikannya mampu mengatur semua. Beda dengan yang lain. Mereka menganggapku seperti batu yang siap dilempar kemanapun mereka suka, atau bahkan mereka menganggapku seperti sampah kelas. Aku akui di kelasku  terlihat jelas kesenjangannya. Hampir semuanya siap dengan materi. Hanya aku saja yang kesasar menerobos masuk melewati garis finis lebih dulu sehingga aku terpasung pada kurikulum kelas unggulan tanpa biaya.
            “Sory Din, aku salah. Kupikir kamu tak kan bisa marah? Sory tadi hanya becanda.” Ujar Andi.
            Nana berusaha keras membantu Andi melepaskan cengkeramanku. Dan akhirnya terbebaslah ia dari cakar elangku yang siap memangsa. Aku dituntun Nana kembali ke tempat dudukku. Kelasku benar-benar hening. Tak lagi terdengar suara canda maupun tawa .hanya sesekali terdengar teriakan dari kelas lain yang sedang  belajar. Semuanya sibuk membuka lembaran-lembaran kertas yang membuatku semakin muak untuk bertahan di kelas. Hingga belpun terdengar tanda pelajaran berakhir.
            Kukayuh sepeda dan kurenungi semua yang terjadi hari ini. Arogan sekali perlakuanku. Begitu tegakah aku terhadap teman-temanku. Aku, perempuan berjilbab berani melakukan kekerasan. Masya Allah syetan apa yang telah meracuni jiwaku?  Tapi, apa salahku? Bukan aku yang menginginkan untuk dilahirkan dalam kondisi seperti ini. Sungguh aku tak pernah memohon tentang kemiskinan dalam hidupku! Pikirku.
            Pikiranku bermain sendiri menelusuri lekuk-lekuk korteks. Mengembara pada foto yang ku robek tadi. Sungguh aku tak percaya dengan apa yang ku lihat tadi. Aku sedang naik sepeda ada dalam cetakan dan berada di tangan Andi, sungguh sangat memalukan. Perlahan namun pasti telah membuat dua roda sepedaku bergerak dan melaju menuju peraduanku. Sesampai di rumah segera kuambil air putih untuk melegakan tenggorokan yang protes dan ku masukkan makanan seadanya sebagai pengusir lapar dan mengantarkan aku untuk menikmati ibadah sekaligus tidur.
            Kejengkelanku belum juga berakhir. Ketika matahari mulai menampakkan warna kekuningan, kudengar suara bapak memanggil mbak Rini untuk melihat sepeda barunya. Hingga kusengaja menghabiskan waktu di dalam ruangan tiga meter persegi ini. Kukunci dan kuhempaskan badanku di atas dipan, kubiarkan otak dan hatiku bercengkrama dan saling beradu argumentasai memecahkan persoalan yang sedang terjadi. Sesekali aku keluar hanya untuk makan dan mengambil air wudlu, bahkan badanku yang bau keringatpun tak kuhiraukan lagi.
            Rupa-rupanya siang beranjak meninggalkan nusantara ini, berganti dengan malam. Suara alampun mulai terdengar, menyeruak dari balik dedaunan yang tertiup angin. Aku masih saja menikmati kesendirian dengan memandang bintang di langit yang sedang gemerlapan melalui jendela mungil kamarku. Hingga aku terbuai dalam mimpi.
            Hembusan angin tengah malam sengaja membangunkanku. Kulaporkan lagi kejadian  kemarin siang kepada sang Pencipta, dengan segenap keyakinanku, meskipun sudah lima kali lebih aku mengadu dengan tumpahan air mata. Tak apa ini adalah sebuah waktu yang tepat untukku mengutarakan semuanya. Kupasrahkan semuanya dan aku percaya pasti ini yang terbaik untukku. Di sepertiga malam yang hening ini telah menjadi saksi sejarah pertemuanku dengan sang Penguasa Alam.
            “Din, subuh, sholat sekalian.” Ujar emak dari balik pintu.
            “Iya” balasku.
            Kulakukan aktivitas pagi ini dengan penuh kepasrahan dan keikhlasan. Akan aku sambut hari ini dengan senyum terindahku bukan kritikan karena aku yakin alam akan menyambutku dengan sinarnya yang terang. Tepat pukul enam lebih tigapuluh menit aku berangkat menuju SMA tempatku mencari pencerahan pikiran dan badan. Aku tak akan lagi berangan-angan tentang waktu yang penuh sesak, karena jika aku butuh, aku harus meluangkannya.
            Aku bahagia dengan keseharianku pasca perang dengan Andi lusa kemarin. Pasalnya tak ada lagi yang berani menggangguku. Inilah duniaku, penuh dengan kemerdekaan. Aku bukan budak yang bisa dijualbelikan. Aku manusia yang butuh dihargai dan dihormati. Hingga hari keempat ini aku merasa ada kemenangan. Namun…..            ‘Din, nyadar nggak? kalo Andi udah tiga hari ini nggak masuk? Jangan-jangan karena kasusmu kemarin?” Tanya Nana
            “Bukan urusanku, Na.” balasku cuek.
            “Iya sih, tapi kok nggak ada surat izin ya?”
            Tiba-tiba terdengar suara Farhan sang eksekutor kelas pidato di depan ketika jam istirahat.
            “Teman-teman, sudah tiga hari ni si Andi nggak masuk sekolah. Dia sedang terbaring di rumah sakit. Aku pribadi berharap temen-temen menjenguknya, sendiri atau bersama sebagai wujud kepedulian kita.”
            “Sakit pa Han?” tanya Risa.
            “Dia…hem hem….dia……”
            “Dia kenapa? Muntaber? Sekarang kan lagi musim, ya kan temen-temen?” ucap Risa penasaran.
            “Nggak, dia mencoba melakukan bunuh diri dengan minum racun serangga, dan tolong usahakan ini kita saja yang tahu!!”
            Ku lihat teman-teman saling berbisik dan sesekali terdengar usul dari mereka. Aku sendiri merasa tak bingung dengan kondisi Andi. Senang atau tidak dengan kondisinya sekarang? Aku tak tahu, yang jelas aku sudah kenal dia lebih dulu daripada teman yang lain. Mungkin ini jalan yang terbaik untuk memperbaiki hubunganku dengannya, bisik batinku.
            “Barangkali kau  punya usul, Din?” Tanya Farhan.
            Aku hanya menggelengkan kepala. Akupun tak yakin itu pertanyaan tulus yang keluar dari mulutnya, barangkali itu hanya sebuah basa-basi sebagai pengacau ruangan supaya tak terlalu tegang. Ingin aku keluar dari kelas dan menikmati angin ini sendirian. Namun, naluriku berkata aku harus mulai terbuka dengan teman-teman di sini. Mereka akan tetap menjadi bagian dalam sejarah hidupku kelak.
            “Gimana kalo kita jenguk rame-rame, biar dia tak merasa sepi, trus kita agak lama dikit. Atau gentian beberapa temen hari ini, dan beberapa temen yang lain besok.” Usul Nana.
            “Setujuuuu…..” suara penghuni kelas 2-1 terdengar kompak sekali.
            “ Ok…kita bagi tiga kelompok, kelompok pertama ntar pulang sekolah aku, Aris, Agung, Nana, Dina dan Risa jenguk hari ini. Trus kalian bisa bagi lagi jadi dua kelompok untuk besok dan lusa.”
            Terdengar suara teman-teman yang sedang memilih kelompok. Belum sempat aku beranjak, bel masukpun nyaring terdengar di seantero sekolah. Bertemu juga akhirnya dengan Bu Ninik, sang eksekutor kelas. Apapun pelajarannya, Bu Niniklah yang menentukan untuk lanjut atau berhenti sebentar alias tidak naik kelas. Nasehat demi nasehat meluncur dari bibir mungil sang guru cantik ini. Tak pernah kami bosan mendengarnya. Pelajaran biologi yang sulit, disulapnya menjadi pelajaran yang paling digandrungi oleh semua siswa. Dua jam pelajaran menjadi tak terasa. Serasa ingin bersamanya. 
            Hari-hari telah merubah setiap insan menjadi hamba yang lebih baik. Meraih setiap mimpi. Menerobos celah-celah bumi belahan lain. Menciptakan pertambahan neurit dan dendrite yang sedemikian pesat, hingga kelasku tak pernah mendengar kata-kata cacian seperti dungu dan bodoh. Laksana ksatria, aku menunggu bel pulang hari ini. Apapun yang akan terjadi nanti itu adalah campur tangan manusia dengan sang Pencipta. Aku hanya berusaha, Allah yang menentukan jua. Ku mantapkan hati untuk menjenguk Andi di rumah sakit.
            “Din, sepedamu dititipkan di rumah depan ja, kita boncengan pake motorku. Nggak pa-pa kan?” Nana menawarkan diri bersamaku.
            Aku hanya menganggukkan kepala seraya merapikan semua buku di atas meja. Aku sudah bertekad untuk tidak mencampuradukkan persoalan apapun ke dalam wilayah kurikulum kelas. Aku harus bisa mengontrol diri sendiri..
            Perjalanan ke rumah sakit tak membutuhkan waktu lama. Sepuluh menit dari sekolah sudah sampai di tempat parkir rumah sakit Mardi Waluyo. Teman-teman berjalan beriringan menyusuri koridor yang menghubungkan tempat lobi dengan kamar anggrek nomor dua. Sesekali terdengar canda dan tawa sebagai pelepas letih setelah seharian berkutat dengan bangku dan kursi di kelas.
            “Assalamu’alaikum” sapa Farhan pada seorang perempuan cantik. Sepertinya beliau belum terlalu tua. Bahkan dibandingkan dengan emakku kelihatan lebih muda ibu ini. Ah..jadi ingat dengan emak.
            Balasan lembut nan merdu terdengar dari perempuan paruh baya itu. “Wa’alaikumsalam. Teman sekolah Andi?”
            “Iya, bu” jawab kami bersamaan.
            “Masuk saja, sudah sadar kok. Tadi malam sadarnya,  hari ini sudah diperbolehkan untuk dijenguk.” Cerita si ibu. Terlihat roman mukanya yang kecapekan.
            Kami hanya tersenyum dan mengangguk, serta melangkahkan kaki menuju kamar tempat Andi dirawat.
            “Assalamua’alaikum”
            “Waalaikum salam, hai…”balas Andi sambil menunjukkan sedikit gigi putihnya.
            “Gimana kondisimu Ndi?” Tanya Farhan.
            “Sudah lebih baik sih, tapi kaki dan tanganku masih lemas. Tinggal mengembalikan tenaga ja kok. Temen-temen pa kabarnya?” balas Andi.
            “Alhamdulillah baik, kamu ditunggu temen-temen buat melaksanakan rencana kemarin lho..” ujar Risa.
            Suasana semakin mencair. Ketegangan antara aku dan Andi yang terjadi di kamar putih ini semakin lama semakin berkurang meskipun aku tak pernah menimpali semua ucapannya. Kebisuan telah menjadi saksi bahwa sesungguhnya di dalam lubuk hatiku tersimpan rasa kemanusiaan yang tinggi. Dengan pengemis saja aku bisa kasihan, apalagi dengan dia temanku sendiri, batinku.
            Aku terperanjat saat ku tatap foto sepedaku terpampang di samping tempat tidurnya. Aku tak bisa menyembunyikan rasa keterkejutanku, hingga mulutku membentuk huruf O besar. Nana yang melihat aku bengong langsung menginjak kaki kiriku yang berada di sebelahnya.
            “Sory, Din, aku nggak minta izin kamu untuk memotret sepeda, ya..karena aku takut aja kamu pasti nggak bakal memberi izin. Iya kan?” ucap Andi sambil melihatku.
            “I…iya nggak pa-pa.” balasku.
            “Tumben kamu baik ma aku, Din. Biasanya juga langsung konser he…..he…….”
            “Oh..jadi nggak mau nih aku baik. Mau aku tonjok!!”
            “ya nggaklah, mentang-mentang jago karate, trus mau nonjok aku yang sudah terkapar nih…,tapi nggak pa-pa deh, toh keluargaku tak da yang peduli lagi kok” balas Andi.
            “Cemen lho…semua orang tu pasti punya masalah, nggak da Ndi  orang yang nggak pernah ada masalah, justru dari sini kita bisa belajar banyak. Ibarat permainan sepak bola kita harus mencetak gol disertai bermain yang bagus, dan yang harus kita ingat ada yang masuk dan ada yang keluar.”
            “Ya bu guru kami sudah mengerti” ungkap Andi disertai tawa dari teman-teman yang ikut menjenguk.” Jadi kita baikan nih??”
            “Dari dulu aku kan baik he…he…”balasku nyengir.
            “Din, kamu tahu nggak kenapa aku ngefans banget ma sepedamu?” Tanya Andi.
            Dengan mantap aku jawab, “aku tidak tahu sama sekali, percaya deh, sepeda tu sudah amat membuatku bosan.”
            “Din, aku saluut banget ma sepedamu, setiap hari mengantarmu dari rumah ke sekolah, trus beralih menuju kegiatan lain. Tahu nggak? Sepedamu itu telah memberi inspirasi terbesar dalam hidupku. Berkali-kali aku jatuh tersungkur, aku bisa bangkit lagi karena aku melihat semangatmu bersama sepedamu itu. Andaikan sepeda itu bisa bicara mungkin ia akan berkisah tentang kamu, kegiatan kamu, sodara-sodara kamu, keluargamu yang utuh, dan banyak hal. Aku selalu iri saat melihatmu bisa santai naik sepeda tapi tetap prestasi tertinggi. Aku dengan seabrek les dan lain sebagainya tetap nomor akhir. Dari SMP hingga SMA aku tetap tak bisa mengalahkanmu dalam segala hal. Bahkan keluargakupun tak pernah bisa diharapkan lagi. Kamu benar-benar beruntung, sungguh banyak hal yang membuat aku ingin lari.”
            Kami semua terdiam mendengarkan Andi berbicara. Hanya sesekali kami menimpalinya. Hari yang semakin siang mengantarkanku merenungi banyak hal. Tentang diriku, tentang Andi, tentang teman-teman sekaligus tentang sepedaku.
            “Teman-teman, makasih atas kepedulianmu. Semoga ini tak sia-sia.” Ujar Andi.
            “Semua ini akan lebih sia-sia lagi jika setelah keluar dari sini, kamu minum obat nyamuk lagi, sekaligus selamat tinggal. Beruntunglah hari ini karna masih banyak yang peduli.” Balas Farhan yang diiyakan teman-teman.
            Kebersamaan itu menciptakan banyak hal, diantaranya kekuatan. Hal itu yang ku lihat dari binar mata Andi, teman-teman sekaligus aku sendiri. Aku berjanji aku tak akan melupakan kenangan-kenangan yang terukir indah selama di sekolah. Benar kata pepatah, masa-masa paling indah, masa-masa di sekolah.
            “Maaf ya Ndi, kami harus pulang. Insya Allah kalo da waktu senggang ke sini lagi.” Pamit Farhan.
            “Jangan ke sini, Han. Kapok aku. Gini aja ya Ndi, besok kita ketemu di sekolah.” Ucapku.
            Semua terbengong-bengong dan langsung disertai tawa yang renyah. Tak ada lagi perbedaan diantara kita. Ternyata kita semua sama. Kami berpamitan kepada orang tuanya. Langkahku terasa ringan sekali. Perjalanan pulang diiringi dengan canda telah benar-benar menghancurkan karang yang bertengger di hatiku.
            “Din, kami semua sayang lho ma kamu. Jangan pernah menganggap kami berbeda ya?” ujar Risa saat kami berpisah menuju ke peraduan masing-masing.
            Aku tersenyum sambil mengangguk. Betapa bahagianya aku hari ini. Ku kayuh sepeda renta ini perlahan-lahan namun pasti. Mentari cerah tak menyisakan mendung sedikit pun, sama seperti hatiku. Ternyata semua prasangkaku itu salah besar. Sayup-sayup terdengar lagu merdu dari rumah warga yang ku lewati…………
            Syukuri apa yang ada
            Hidup adalah anugerah
            Tetap jalani hidup ini
            Melakukan yang terbaik….
           
            Kini aku benar-benar ada diantara mereka. Tak perlu ragu dan bimbang karena itu nyata. Sesekali aku bersenandung sambil mengenang semua yang terjadi. Aku harus terus berjuang mengapai mimpi. Membuat semua yang melihatku bangga. Dan aku tetap akan menjadi diri sendiri bukan orang lain. Dan satu hal yang harus aku ingat manusia tak kan mendahului takdir.
 By: lilik nuktihana

Tidak ada komentar:

Stasiun Lempuyangan

Jika Blitar terbuat dari tetesan-tetesan darah para pejuang, maka Jogja tercipta dari sejuta kerinduan. Kerinduan pada keramahan...