Senin, 29 September 2014

hari ini

aku masih berdiri di ujung sini
mengais setiap desahan nafas yang tersembunyi
mencari sisa-sisa amunisi yang telah terkubur
menelusur ke segala arah

aku masih di sini
menatap dengan sedikit emosi
mengeluh dengan sejuta amarah
menangis dengan sisa-sisa air mata
meratap, teriak bahkan terkapar

aku masih di sini
hari ini, kemarin dan esok hari

bukan
bukan mengharap belas kasihmu
bukan mengharap cinta kasihmu

aku masih di sini
maaf.......... bukan untukmu

maaf aku terlalu egois untuk semua yang ada
aku terlalu naif untuk beranjak pergi
aku tak berani mengambil resiko kehancuran
aku bukan bayangan kehidupanmu


aku masih disini, hari ini
untukku sendiri

buat abang

ku lukis kanvas hatiku dengan cat aroma pemberianmu
ku ukir semua kenangan dengan sejuta tinta darimu
hanya darimu......
senja kemarin sangat indah
mengingatkan laku jalanku
menerobos dalam lajur
ditegur lalu dihantam
selebihnya kamu tetap ada

ini aku bungkuskan kotak warna hijau
sehijau warna surga hatimu
seteduh matamu memandangku
kotak ini memang tak terlihat istimewa bang.....
tapi aku mengisinya dengan sejuta kecupan.......
supaya tetap awet dan istimewa

Totto-Chan sekolahku


Risa namanya. Gadis kecil nan cantik yang berusia delapan lebih sedikit. Ia terpaksa harus duduk di kelas dua lagi, karena dalam kenaikan kelas semester genap kemarin telah diputuskan bahwa ia harus tetap tinggal kelas. Banyak cerita darinya. Dari persoalan yang paling sederhana sampai yang luar biasa. Pola berpikirnya telah mampu meracuni hampir seluruh guru di SD swasta tempat ia mendapatkan secercah harapan untuk melintasi jagad raya ini dengan cahaya ilmu.
Hari demi hari, detik demi detik ia lalui dengan masuk seperti biasa. Terlihat dari yang ia lakukan masih sama dengan hari-hari yang lalu. Pagi ia datang dan siang tepat pukul satu ia beranjak meninggalkan dunia bertembok tinggi ini. Baginya tembok raksasa berlantai dua dan bangunan gazebo di depannya ini adalah gedung megah yang telah mencengkeram kekuasaan dan kebebasan dari dunia yang ia miliki. Laksana ia berada dalam sangkar emas, tak bisa ia terbang melanglang jagad.
Begitu banyak kisahnya yang terekam dalam kaset yang berpitakan dendrit-dendritku.seperti peristiwa dua hari yang lalu, ku dapati ia sedang meraung-raung di kantor. Suara bising yang ia keluarkan telah menyebabkan guru-guru cepat beranjak meninggalkan kantor. Termasuk aku. Salah satu temanku tak kuasa mendengar suara elangnya, hingga ia menyeret Risa ke dalam ruang kepala sekolah. Ruangan dengan ukuran dua meter kali tiga meter itu memang jarang dihuni dan tempatnya ada di sebelah kantor guru. Ia merasakan dirinya dalam posisi yang amat sangat terhina, ia tak mampu lagi mengendalikan amarahnya hingga keluarlah dari mulut mungilnya perkataan yang tak pernah pantas di dengar oleh seorang guru dimanapun ia berada, apalagi di sekolah ini. Ia berusaha sekuat tenaga memproklamirkan guru-guru di tempatku dengan kata-kata kasar dan sesukanya. Saat itu kami malu sekali mendengarnya, bukan tanpa alasan melainkan kami berprofesi sebagai guru dan telah mengikrarkan diri mengatasnamakan moral dalam kehidupan.
Risa panggilannya. Ia hanya anak kecil yang belum tahu kapan ia akan mulai melangkahkan kaki menuju dunia yang luas ini. Ia juga belum tahu kapan ia harus memulai kehidupannya yang lebih baik. Ia hanyalah anak kecil yang membutuhkan bantuan untuk melihat masa depannya dengan cara yang ia senangi.
Sering kali ku dengar di dalam rapat ia diangkat sebagai topik hangat, namun cepat-cepat ia ditinggalkan begitu saja. Ia ibarat umpan untuk melangkahkan kaki-kaki kami menuju yang lain. Dengan berbagai argument, beberapa diantara kami berusaha untuk pasrah pada takdir tanpa usaha untuk memperbaikinya. Aneh memang, tapi inilah kenyataan. Kami adalah segerombol pengecut yang mengatasnamakan guru, itulah sebutan bagi kami. Tak perlu canggung mengatakan kepada siapapun tentang nama ini, karena itulah fakta.
Berkali-kali ku dengar ia membuat ulah di sekolah. Ia tak pernah memperdulikan akibat dari tindakannya. Ia tinggalkan begitu saja guru yang mengajarnya dengan segudang permasalahan yang ia lakukan. Ia berbuat jahil kepada teman-temannya, hingga membuat temannya jengkel dan melakukan aksi pembalasan. Tak dapat dihindari lagi pertengkaran terjadi antara mereka. Dan kami mencoba melakukan penyelesaian atas apa yang menimpa mereka. Jika kemenangan berada dipihaknya , senyum terindah ia lontarkan, ia berikan kepada siapapun yang berada di sebelahnya dengan kemenangannya. Namun jika kekalahan yang ia terima, maka terdengarlah suara nyaring mengumandangkan tangisnya, memecah gendang telinga bagi yang mendengarnya.
Pernah suatu hari aku berpikir bahwa ia adalah salah satu korban ketidak adilan Allah terhadap hamba-Nya. Namun ketika aku melihat dari sisi lain yakni menatapnya lebih dekat, ternyata Allah telah menunjukkan keadilan –Nya, dan benar-benar maha adil dengan cara keadilan-Nya.
Aku benar-benar tertarik dengan hidupnya. Dulu ketika ia masih baru di kelas dua, kira- kira satu tahun yang lalu, salah satu temanku mengatakan kepadanya untuk lebih giat lagi belajar, dengan polosnya ia menjawab, “aku ingin jadi artis kok harus baca dan tulis”. Saat itu temanku langsung mengeluarkan jurusnya untuk berkhotbah di depannya. Namun ia tetap Risa yang tak bisa memahami bahasa sang orator ulung. Risa adalah ciptaan dari sang Maha Karya yang hanya mampu menganalisa hidup dengan caranya sendiri.
Setiap hari kamis aku datang lebih awal dari biasanya, karena jatah piket yang aku emban. Sebagai perwujudan rasa tanggung jawabku sekaligus takdir untukku menikmati indahnya pagi. Ku amati setiap siswa yang datang, baik sendiri maupun diantar orang tua, ataupun keluarganya yang lain. Tak lupa ku analisa sang pengantar Risa, siswi pengganti Totto-Chan di sekolahku. Subhanallah, ternyata kakak laki-lakinya yang biasa mengantarnya juga tidak seratus persen normal, ada tanda-tanda yang jelas terlihat dari raut muka serta tingkah lakunya yang telah mampu menunjukkan padaku siapa dia sebenarnya. Apalagi setelah aku mendapatkan keakuratan dari salah satu temanku yang tak jauh tempat tinggalnya dengan keluarga Risa.
Risa namanya. Gadis bungsu dari keluarga yang terbilang kaya di daerahnya. Namun, malang baginya. Jarak yang terlalu jauh antara dirinya dengan saudara yang lainnya telah mempengaruhi hidupnya. Barang yang serba mewahpun juga turut andil dalam membentuk pola pikirnya., orang tuanya yang telah beranjak tua dengan ihklas membiarkan perkembangan yang tidak alami mempengaruhi kehidupan anaknya tercinta.
Pernah suatu hari, saking penasarannya aku terhadap kehidupannya. Aku melakukan investigasi terhadap temanku. Berbagai pertanyaan ku lontarkan. Aku seperti detektif conan yang siap berselancar mengarungi misteri hidup yang terjadi. Bahkan sampai ku tanyakan perkembangan perekonomian keluarganya. Sungguh di luar dugaanku sebagai perwakilan orang tua.
“Maaf ya, bukannya aku suudhon, tapi ini fakta, keluarganya itu setiap hari mendapatkan suntikan dana dari pihak lain. Sebenarnya sih, keluarganya tu mampu, tapi mereka berpikir tu sumbangan, maka ya di terima aja.” Ujar temanku saat itu. Terlihat dari wajahnya yang tak mampu menciptakan ekspresi lagi, karena menurutnya sudah banyak orang yang memberitahukan pada keluarga Risa untuk tidak menerima dana pengganti agama.entahlah berita itu benar atau salah, aku juga tak tahu.
“Apa iya, hal-hal semacam itu mempengaruhi kehidupannya, kecerdasannya, bahkan hatinya?”Tanya temanku yang lain.
“Iya, Insya Allah mempengaruhi semua yang terjadi dalam kehidupan, bukankah itu telah menjadi daging yang membalut tulang-tulang yang ada pada tubuh, maka secara otomatis semua yang terjadi saling mempengaruhi.” Balas temanku.
Otakku berselancar membuka lembaran-lembaran dendrit yang bertumpuk-tumpuk mencari seberkas cerita lima tahun yang lalu saat aku bekerja menjadi terapis. Aku ingat salah satu yang ku terapi adalah anak dengan memiliki kepribadian ganda. Ketika diskusi dan konsultasi dengan seseorang yang lebih paham ilmu kedokteran sekaligus pemahaman agamanya jauh lebih dari kami, memang benar semua yang masuk kedalam tubuh, halal atau tidak telah meramu semua kehidupan manusia.
Haruskah aku bersyukur ketika sang penguasa sekolah tidak menaruh namaku dalam daftar pengajar kelas Risa? Sungguh ini ibarat buah simalakama. Ia tak pernah tahu tentang dosa. Bagaimanapun juga ia tetap anak yang haus akan berbagai cahaya. Sering kali ketika aku melintasi kelasnya, ia hanya terduduk diam tak bergeming, atau ia berjalan-jalan di ruangan, tanpa ada timbal balik dari seorang dewa yang sedang duduk termenung di depan dua puluh siswa. Risa tetaplah Risa yang belum faham tentang kehidupan, bahkan untuk memahami hidupnya sendiri ia belum mampu.
Ada rasa bersalah tiap kali aku melihatnya. Ia laksana malaikat yang selalu menguntitku untuk mencatat semua yang telah ku lakukan. Karena semua penghuni istana sangkar emas ini telah lama menghilangkan daftar nama Risa dalam sanubarinya. Aku tidak bohong, semua itu ada buktinya. Aku tidak mau di anggap penghianat alam bawah sadarku yang mengatas namakan guru, orang yang harus digugu lan ditiru.
Kemarin saat rapat laporan hasil akademik dan permasalahan-permasalahan yang ada di dalam dapur masing-masing kelas. Ada berbagai hal yang dilaporkan. Namun, ketika sang eksekutor kelas dua mengungkapkan permasalahnnya, beliau mengatakan “Semua ini tadi di luar Risa pak, karena semua pasti tahu bagaimana tentang Risa. Intinya daripada saya hanya mengurusi satu anak dan itu Risa, lebih baik saya mengurusi yang lain, yang lebih banyak, lebih pinter, dan pastinya nggak bikin ulah yang aneh-aneh. Nggak nangisan dan lain-lain. Pernah ketika saya mengajar, ada beberapa anak yang lain itu protes tentang Risa, trus aku jawab kalau kalian mau seperti mbak risa ya silahkan melakukan sepertinya, kataku.”
Aneh ya, semua itu apakah masih kurang untuk membuktikan tentang siapa Risa. Ada senyum yang amat getir, yang menusuk-nusuk relung jiwaku. Aku tak pernah mampu melakukan pembelaan padanya hanya karena aku tak ada di daftar tim eksekutor kelas. Aku hanyalah seuntai cabe merah diantara cabe rawit. Semua setuju dan mengiyakan ada dan tiadanya Risa tak pernah berpengaruh pada siklus kehidupan di dalam sangkar emas ini. Sebegitu hinakah Risa dimata para eksekutor itu? Allah yang mampu menilai semuanya, dan akan membalas dengan keadilan-Nya
Mungkin Risa adalah korban dari kebodohan kami. Aku benar-benar khawatir jika hal tersebut hadir sebagai pemicu atas yang terjadi pada Risa. Aku sendiri telah melakukan berbagai pendekatan padanya, namun, berkali-kali pula aku harus menahan kekecewaan karena hasilnya belum maksimal. Hingga aku tersadar dari tidur panjang ini ketika ku temukan sebuah buku lusuh di perpustakaan desa yang letaknya berdampingan dengan kantorku. Ku buka lembaran demi lembaran, ku nikmati kata demi kata yang terangkai dengan indah, lalu ku masukkan ke dalam otakku, hingga berkembanglah dendritku menuju keangkasa pemahaman.
Mungkin tingkahnya selama ini adalah perwujudan dari aksi protesnya, karena ia bukanlah mahasiswa yang bisa melakukan demonstrasi ala mereka. Ia hanyalah anak kecil yang mampu melakukan aksi demontrasi dengan caranya. Ia mogok membaca, mogok menulis, mencubit teman, menjegal teman, menuduh teman dan lain-lain adalah serentetan aksinya agar kami memahami dirinya. Ia terpuruk pada dunia yang tak ia mengerti.
Ia laksana musafir padang pasir yang ingin menemukan oase. Ia berselancar di daerah kutub namun malang baginya, ia terjerumus ke dalam lautan ganas yang penuh dengan marabahaya. Ia laksana pecinta alam yang sedang mencoba mendaki untuk menahklukkan gunung Jaya Wijaya, namun di luar dugaan ia tergelincir ke dalam jurang terjal nan curam. Siapa yang akan bertanggung jawab atas semua ini? Siapa yang akan menuntunnya menunjukkan oase padang pasir? Siapa yang akan menjadi penolongnya di tengah lautan? Dan siapa pula yang akan menyelimuti serta menghindarkannya dari dinginnya salju Jaya Wijaya serta amukan binatang buas di tengah malam gelap gulita?
Aku berselancar mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Pusing. Ya tepatnya kepalaku mengamuk memuntahkan kekesalannya, hingga amat terasa sakit. Aku tak putus asa, ku mulai lagi berselancar ke dunia nyata dan maya. Namun, lagi-lagi aku harus menelan kekecewaan, keangkuhan para eksekutor telah menciptakan dunianya sendiri, merasa sok jagoan, merasa benar sendiri serta keangkuhannya telah menciptakan dua nurani di dalam jiwanya yang saling berperang, hingga tak mampu membuat keputusan akhir.
Risa, begitulah orang menyebutnya. Ia tertinggal jauh dengan teman-temannya secara akademik dan kematangan emosional. Ia dianggap pengacau sekolah. Ia tak diberi kesempatan untuk menunjukkan siapa sebenarnya dia. Ia menutupi semua kelemahannya dengan sikapnya. Ia sengaja melakukan itu semua dengan harapan akan diakui keberadaannya. Namun, semua yang melihat dan mendengar juga dengan sengaja menutup mata dan telinga saat melintasinya. Kehidupannya sungguh bak buah simalakama. Kehidupannya seperti tak pernah nyata.
Mungkin benar dugaanku, Risa adalah korban kebodohan kami dan keluarganya serta orang-orang yang berada di sebelahnya. Orang-orang yang telah menganggapnya tidak ada. Ia adalah satu diantara Totto-Chan yang hadir di hadapanku, bahkan ribuan yang telah hadir di muka bumi ini. Ia adalah mahkluk Allah yang memiliki kekhasan tersendiri. Mungkin selama ini kami telah menghilangkan namanya dari daftar hadir yang terukir di hati, namun kini ia telah ku ukir dengan tinta emas dan ku letakkan di sebelah namaku sendiri tanpa malu dan ragu, bersama Totto-Chan lainnya. Aku sadar ia tak sendiri, karena aku dulu juga sepertinya. Dan aku telah menjadi korban ketidakmengertian para eksekutorku dulu. Kini aku tak kan membiarkan seorangpun mengeksekusi Totto-Chan -Totto-Chan baru dimanapun berada. Aku tak kan biarkan hatinya terkapar tanpa kekuatan. Aku akan selalu hadir dalam kehidupan berikutnya tanpa batas, di dunia nyata maupun maya. Bukankah Allah menciptakan permasalahan yang mampu diselesaikan oleh hamba-Nya. Andaikan kami tak mampu, bukankah Allah telah berjanji tidak akan melepaskan kami begitu saja.



Jumat, 05 September 2014

Karena Aku Ada



Karena Aku Ada

Semua yang baru lahir tak mampu ditebak akan menjadi apa. Kecuali, Pak Tarno, si pesulap yang selalu  meminta pertolongan penonton untuk bertepuk tangan dengan irama “Prok...prok-prok-prok jadi apa?” baru akan terjawab. Dan bisa ku pastikan kalian semua mampu mengingat dengan baik tentang pak Tarno. Iya kan? Tapi satu hal yang harus kalian ingat, itu tidak berlaku untuk mendeteksi nasib siapapun, aku, kamu dan termasuk presiden sekalipun.
Semua yang terlahir itu bukanlah siapa-siapa. Itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan semua manusia di muka bumi ini. Tak perlu khawatir, panik, bingung tentang masa depan. Semuanya sudah ada yang mencipta. Semuanya tahu bahwa ketika lahir kita hanya memiliki satu modal, yakni keberanian untuk menatap dunia yang penuh dengan intrik-intrik yang kadang tak bisa dimengerti dan dipahami. Bahkan sangat sulit. Mencerna dunia yang penuh dengan suka dan tidak suka. Tiba-tiba suka dan tiba-tiba tidak suka.
Sama dengannya. Persis. Ia terlahir juga bukan siapa-siapa atau dari keluarga siapa-siapa. Ia hanya dari keluarga biasa dan ia hanya seorang anak perempuan yang biasa pula. Tak ada tanda-tanda ia istimewa. Semakin besarpun tetap tak ada tanda-tanda bahwa ia patut untuk dipertimbangkan, di lihat, bahkan dirasakan kehadirannya. Tidak sama sekali. Dengan tubuhnya yang tambun, pipinya yang tembem, mata bulatnya menjadikan pelengkap bahwa ia tak seharusnya terlahir di muka bumi ini. Ingat! Semuanya serba biasa saja. 
Ia hanya menjadi manusia pelengkap dalam setiap sisi kehidupan di sini. Di sekolah yang megah ini, ia hanya dibutuhkan karena ia mampu membayar biaya pendidikan yang lumayan mahal bagi kalangan menengah ke bawah. Ia hanya menjadikan dirinya pelengkap pelampiasan kemarahan bagi yang tak bersyukur, karena ia mampu menahan rasa sakit hati saat menjadi bahan olokan bagi teman-temannya.
“Say no to Gendut!” teriak gadis cantik nan semampai disusul teriakan kawan-kawannya. Suara riuh mengembang ke penjuru sekolah megah itu. Persis demonstrasi penurunan pejabat.
“Gendut?? Trus aku harus bilang Wow gitu?”
“Dasar gadis pemimpi! Gendut! Huh! Nggak level”
Atau
“Tahu nggak? Setiap aku menatapnya, aku selalu ingat pilem Bagong...ha....ha...ha..!”
Bahkan itu belum seberapa.
“Setiap aku mendengar suaranya, aku seperti sedang terkena letusan gunung Merapi. Jadi saranku kalo lagi deket dengannya kita musti siap-siap terkena longsoran juga”
Dan kau tahu? Setiap sehabis berkata, tawa mereka berderai. Terurai disepanjang gendang telinga yang sempat mendengar, dan itu berarti menambah kasus di negeri tercinta ini tentang Bullying. Terkadang hal itu membuat nyalinya menciut. Mengerut sampai ke titik terendah jiwanya. Laksana benang kusut yang sulit diuraikan. Kalau itu yang terjadi, ia hanya mampu menundukkan wajahnya ke lantai kelas. Ia tumpahkan semua keluh kesahnya pada ubin kelasnya. Karena ia tak mampu menguraikan hatinya lewat nada-nada ataupun tulisan. Dan lengkaplah rasa deritanya. Anehnya, itu hanya berlangsung dalam hitungan jam. sejam, dua jam, dan tiga jam berikutnya ia kembali tersenyum ramah.
Terkadang ia berharap sebuah keajaiban datang menghampirinya. Menyapanya. Mengerti dan memahami semua keadaannya dan membalik semua yang terjadi di depannya seratus delapan puluh derajat. Dan itulah ia menjadi gadis pemimpi. Namun, setiap kali ia bangun dari tidur malamnya, semuanya masih tetap sama. Bagong masih menjadi sandaran nama baginya. Dan semua itu masih menjadi mimpi panjang baginya.
***
Matahari masih tetap bersinar meski waktu berlalu dengan cepat. Pergantian detik ke detik, menit ke menit, hingga musim ke musim menjadi cerita mimpi untuk perubahannya. Keinginannya untuk dianggap ada merasuk ke dalam dirinya. Merangsek semua keinginan yang lainnya. Perjalanan yang ia tempuh sudah cukup menjadi bekal yang hebat untuk masa depannya. Langkahnya kian mantap. Sudut pandangnya berubah. Ia menyadari jika dirinya berbeda. Ia wujudkan keberaniannya menampakkan wajahnya melihat, menatap dunia dengan penuh gairah. Ia mulai berani ikut mewarnai dunianya sendiri. Berawal dari mimpilah semua menjadi ada, hingga suatu hari............
“Wah Bagong sekarang berbeda lho?”
“Oh ya? Bagong!” matanya terbelalak tak percaya.
“Iya. Gadis pemimpi itu.” balasnya.
 “Beda gimana? Sekarang seperti apa? Badannya sudah kendur ya? Atau malah seperti artis sekelas Anisa Chibi?” kata gadis berambut pirang.
“Kalau bener seperti itu, aku akan bilang Wow sambil koprol dari depan kelas sampai pintu gerbang sekolah ini. Gimana? Lumayan keren kan janjiku?”
“Gila ya lho pada? Mana mungkin si Bagong berubah kayak artis.” jawab si pembawa berita, “Maksudku ya, dia berani menolak perbedaan. Ia  mulai nggak terima dengan nama Bagong yang melekat di dirinya! Dan kau tahu?” nafasnya tersenggal-senggal menahan emosinya yang tak tertahankan, “Dunia sudah mulai mengenal dia ketimbang kita!!!”
“Wow...keren. ini akan menjadi berita paling heboh disini!” gadis yang sedari tadi diam saja kini ikut pula menimpali.
Lagi-lagi ia menjadi bahan pergunjingan di seluruh sekolah. Bahkan sampai di kamar mandi. Pergunjingan seru itu tak hanya melibatkan siswa. Seluruh penghuni sekolah ikut terlibat di dalamnya. Guru, Osis, murid biasa hingga Pak Maman si tukang kebun sekolah tak mau ketinggalan. Kau pasti akan terkejut, menganga melihat keajaiban jika kau terlibat langsung di dalam sekolah itu. Pasalnya hal yang tak mungkin dilakukan siapapun tiba-tiba muncul di media lokal bahwa ia telah melakukannya. Bahwa ia mampu menjadikan dirinya bintang bagi kaum marginal. Memang sih serba mungkin, tidak ada yang tidak mungkin, tapi untuk ukuran dia semuanya takkan percaya bahwa ia pelakunya.
***
Pagi itu tak ada mendung yang berkelebat di langit. Itu pertanda hari yang cerah secerah hatinya. Matahari benar-benar lagi berbahagia sebahagia hatinya. Suasana hari itu benar-benar anugerah yang diperuntukkan baginya. Semuanya menghadiahi senyuman paling indah yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Setiap ia berjalan, semua menyapanya dengan sangat ramah. Setiap kali ia membuat sedikit kesalahan tak lagi keluar kata-kata kotor yang menemani. Semuanya tak lagi abu-abu. Semuanya berubah. Hanya ada hitam dan putih saja, persis seperti acara televisi swasta.
Meski begitu ia tak berbangga hati. Meski semua berubah, ia masih tetap sama. Penampilannya tak ada yang berubah. Tubuhnya tetap tambun. Hidungnya masih tetap mancung dan pipinya masih tetep tembem setembem kue apem. Rambutnya tetep kucir satu. Hanya senyumnya yang berubah. Senyum pada dunianya semakin kentara alami, tak basa-basi. Ia hanya menunjukkan dirinya yang asli. Bertaring, tapi tetap lembut.
Kalau engkau terlibat langsung di dalamnya, engkau pasti ikut senang saat melihatnya menjadi dirinya sendiri. Engkau pasti tak kan berhenti memujinya meski gempa melanda negeri. Dan yang pasti engkau takkan lagi mau menghentikan nafasmu meski sejenak, karena engkau inginkan hidup terus untuk melihatnya nanti.
Engkau sebenarnya penasarankan dengan apa yang ia lakukan hingga membuat semuanya berubah. Membuat senyum anak-anak negeri yang tak dianggap. Membuat semuanya kembali ceria. Sebenarnya dia hanya melakukan sedikit perubahan. Ya, tepatnya hanya sedikit sekali. Tapi itu sudah cukup mewakili kaum termarginal seperti kami ini.
Sedikit itulah janjinya untuk merubah semuanya. Sedikit itulah yang menjadikan dia mendapatkan penghargaan dari orang nomer satu di negeri ini. Dan sedikit itulah janjinya pada dirinya sendiri. Ia hanya membuat poster, dan beberapa tulisan saja. Eit....jangan salah meski hanya itu, ia mampu merubah segalanya menjadi seperti sekarang ini.  Posternya juga Cuma poster sederhana, tulisannya juga Cuma “AKU ADA KARENA ENGKAU ADA” dan tulisannya yang dimuat judulnya juga biasa yaitu “KITA ADA KARENA BERBEDA”.
Satu lagi engkau pasti juga penasarankan siapa sebenarnya dia itu? Sebenarnya Dia itu Aku. Bintang Lazuardy.

Blitar, 061213
09.25


Stasiun Lempuyangan

Jika Blitar terbuat dari tetesan-tetesan darah para pejuang, maka Jogja tercipta dari sejuta kerinduan. Kerinduan pada keramahan...