Risa
namanya. Gadis kecil nan cantik yang berusia delapan lebih sedikit. Ia
terpaksa harus duduk di kelas dua lagi, karena dalam kenaikan kelas
semester genap kemarin telah diputuskan bahwa ia harus tetap tinggal
kelas. Banyak cerita darinya. Dari persoalan yang paling sederhana
sampai yang luar biasa. Pola berpikirnya telah mampu meracuni hampir
seluruh guru di SD swasta tempat ia mendapatkan secercah harapan untuk
melintasi jagad raya ini dengan cahaya ilmu.
Hari demi hari, detik
demi detik ia lalui dengan masuk seperti biasa. Terlihat dari yang ia
lakukan masih sama dengan hari-hari yang lalu. Pagi ia datang dan siang
tepat pukul satu ia beranjak meninggalkan dunia bertembok tinggi ini.
Baginya tembok raksasa berlantai dua dan bangunan gazebo di depannya ini
adalah gedung megah yang telah mencengkeram kekuasaan dan kebebasan
dari dunia yang ia miliki. Laksana ia berada dalam sangkar emas, tak
bisa ia terbang melanglang jagad.
Begitu banyak kisahnya yang
terekam dalam kaset yang berpitakan dendrit-dendritku.seperti peristiwa
dua hari yang lalu, ku dapati ia sedang meraung-raung di kantor. Suara
bising yang ia keluarkan telah menyebabkan guru-guru cepat beranjak
meninggalkan kantor. Termasuk aku. Salah satu temanku tak kuasa
mendengar suara elangnya, hingga ia menyeret Risa ke dalam ruang kepala
sekolah. Ruangan dengan ukuran dua meter kali tiga meter itu memang
jarang dihuni dan tempatnya ada di sebelah kantor guru. Ia merasakan
dirinya dalam posisi yang amat sangat terhina, ia tak mampu lagi
mengendalikan amarahnya hingga keluarlah dari mulut mungilnya perkataan
yang tak pernah pantas di dengar oleh seorang guru dimanapun ia berada,
apalagi di sekolah ini. Ia berusaha sekuat tenaga memproklamirkan
guru-guru di tempatku dengan kata-kata kasar dan sesukanya. Saat itu
kami malu sekali mendengarnya, bukan tanpa alasan melainkan kami
berprofesi sebagai guru dan telah mengikrarkan diri mengatasnamakan
moral dalam kehidupan.
Risa panggilannya. Ia hanya anak kecil yang
belum tahu kapan ia akan mulai melangkahkan kaki menuju dunia yang luas
ini. Ia juga belum tahu kapan ia harus memulai kehidupannya yang lebih
baik. Ia hanyalah anak kecil yang membutuhkan bantuan untuk melihat masa
depannya dengan cara yang ia senangi.
Sering kali ku dengar di
dalam rapat ia diangkat sebagai topik hangat, namun cepat-cepat ia
ditinggalkan begitu saja. Ia ibarat umpan untuk melangkahkan kaki-kaki
kami menuju yang lain. Dengan berbagai argument, beberapa diantara kami
berusaha untuk pasrah pada takdir tanpa usaha untuk memperbaikinya.
Aneh memang, tapi inilah kenyataan. Kami adalah segerombol pengecut yang
mengatasnamakan guru, itulah sebutan bagi kami. Tak perlu canggung
mengatakan kepada siapapun tentang nama ini, karena itulah fakta.
Berkali-kali ku dengar ia membuat ulah di sekolah. Ia tak pernah
memperdulikan akibat dari tindakannya. Ia tinggalkan begitu saja guru
yang mengajarnya dengan segudang permasalahan yang ia lakukan. Ia
berbuat jahil kepada teman-temannya, hingga membuat temannya jengkel dan
melakukan aksi pembalasan. Tak dapat dihindari lagi pertengkaran
terjadi antara mereka. Dan kami mencoba melakukan penyelesaian atas apa
yang menimpa mereka. Jika kemenangan berada dipihaknya , senyum terindah
ia lontarkan, ia berikan kepada siapapun yang berada di sebelahnya
dengan kemenangannya. Namun jika kekalahan yang ia terima, maka
terdengarlah suara nyaring mengumandangkan tangisnya, memecah gendang
telinga bagi yang mendengarnya.
Pernah suatu hari aku berpikir bahwa
ia adalah salah satu korban ketidak adilan Allah terhadap hamba-Nya.
Namun ketika aku melihat dari sisi lain yakni menatapnya lebih dekat,
ternyata Allah telah menunjukkan keadilan –Nya, dan benar-benar maha
adil dengan cara keadilan-Nya.
Aku benar-benar tertarik dengan
hidupnya. Dulu ketika ia masih baru di kelas dua, kira- kira satu tahun
yang lalu, salah satu temanku mengatakan kepadanya untuk lebih giat lagi
belajar, dengan polosnya ia menjawab, “aku ingin jadi artis kok harus
baca dan tulis”. Saat itu temanku langsung mengeluarkan jurusnya untuk
berkhotbah di depannya. Namun ia tetap Risa yang tak bisa memahami
bahasa sang orator ulung. Risa adalah ciptaan dari sang Maha Karya yang
hanya mampu menganalisa hidup dengan caranya sendiri.
Setiap hari
kamis aku datang lebih awal dari biasanya, karena jatah piket yang aku
emban. Sebagai perwujudan rasa tanggung jawabku sekaligus takdir untukku
menikmati indahnya pagi. Ku amati setiap siswa yang datang, baik
sendiri maupun diantar orang tua, ataupun keluarganya yang lain. Tak
lupa ku analisa sang pengantar Risa, siswi pengganti Totto-Chan di
sekolahku. Subhanallah, ternyata kakak laki-lakinya yang biasa
mengantarnya juga tidak seratus persen normal, ada tanda-tanda yang
jelas terlihat dari raut muka serta tingkah lakunya yang telah mampu
menunjukkan padaku siapa dia sebenarnya. Apalagi setelah aku mendapatkan
keakuratan dari salah satu temanku yang tak jauh tempat tinggalnya
dengan keluarga Risa.
Risa namanya. Gadis bungsu dari keluarga yang
terbilang kaya di daerahnya. Namun, malang baginya. Jarak yang terlalu
jauh antara dirinya dengan saudara yang lainnya telah mempengaruhi
hidupnya. Barang yang serba mewahpun juga turut andil dalam membentuk
pola pikirnya., orang tuanya yang telah beranjak tua dengan ihklas
membiarkan perkembangan yang tidak alami mempengaruhi kehidupan anaknya
tercinta.
Pernah suatu hari, saking penasarannya aku terhadap
kehidupannya. Aku melakukan investigasi terhadap temanku. Berbagai
pertanyaan ku lontarkan. Aku seperti detektif conan yang siap
berselancar mengarungi misteri hidup yang terjadi. Bahkan sampai ku
tanyakan perkembangan perekonomian keluarganya. Sungguh di luar dugaanku
sebagai perwakilan orang tua.
“Maaf ya, bukannya aku suudhon, tapi
ini fakta, keluarganya itu setiap hari mendapatkan suntikan dana dari
pihak lain. Sebenarnya sih, keluarganya tu mampu, tapi mereka berpikir
tu sumbangan, maka ya di terima aja.” Ujar temanku saat itu. Terlihat
dari wajahnya yang tak mampu menciptakan ekspresi lagi, karena
menurutnya sudah banyak orang yang memberitahukan pada keluarga Risa
untuk tidak menerima dana pengganti agama.entahlah berita itu benar atau
salah, aku juga tak tahu.
“Apa iya, hal-hal semacam itu mempengaruhi kehidupannya, kecerdasannya, bahkan hatinya?”Tanya temanku yang lain.
“Iya, Insya Allah mempengaruhi semua yang terjadi dalam kehidupan,
bukankah itu telah menjadi daging yang membalut tulang-tulang yang ada
pada tubuh, maka secara otomatis semua yang terjadi saling
mempengaruhi.” Balas temanku.
Otakku berselancar membuka
lembaran-lembaran dendrit yang bertumpuk-tumpuk mencari seberkas cerita
lima tahun yang lalu saat aku bekerja menjadi terapis. Aku ingat salah
satu yang ku terapi adalah anak dengan memiliki kepribadian ganda.
Ketika diskusi dan konsultasi dengan seseorang yang lebih paham ilmu
kedokteran sekaligus pemahaman agamanya jauh lebih dari kami, memang
benar semua yang masuk kedalam tubuh, halal atau tidak telah meramu
semua kehidupan manusia.
Haruskah aku bersyukur ketika sang
penguasa sekolah tidak menaruh namaku dalam daftar pengajar kelas Risa?
Sungguh ini ibarat buah simalakama. Ia tak pernah tahu tentang dosa.
Bagaimanapun juga ia tetap anak yang haus akan berbagai cahaya. Sering
kali ketika aku melintasi kelasnya, ia hanya terduduk diam tak
bergeming, atau ia berjalan-jalan di ruangan, tanpa ada timbal balik
dari seorang dewa yang sedang duduk termenung di depan dua puluh siswa.
Risa tetaplah Risa yang belum faham tentang kehidupan, bahkan untuk
memahami hidupnya sendiri ia belum mampu.
Ada rasa bersalah tiap
kali aku melihatnya. Ia laksana malaikat yang selalu menguntitku untuk
mencatat semua yang telah ku lakukan. Karena semua penghuni istana
sangkar emas ini telah lama menghilangkan daftar nama Risa dalam
sanubarinya. Aku tidak bohong, semua itu ada buktinya. Aku tidak mau di
anggap penghianat alam bawah sadarku yang mengatas namakan guru, orang
yang harus digugu lan ditiru.
Kemarin saat rapat laporan hasil
akademik dan permasalahan-permasalahan yang ada di dalam dapur
masing-masing kelas. Ada berbagai hal yang dilaporkan. Namun, ketika
sang eksekutor kelas dua mengungkapkan permasalahnnya, beliau mengatakan
“Semua ini tadi di luar Risa pak, karena semua pasti tahu bagaimana
tentang Risa. Intinya daripada saya hanya mengurusi satu anak dan itu
Risa, lebih baik saya mengurusi yang lain, yang lebih banyak, lebih
pinter, dan pastinya nggak bikin ulah yang aneh-aneh. Nggak nangisan dan
lain-lain. Pernah ketika saya mengajar, ada beberapa anak yang lain itu
protes tentang Risa, trus aku jawab kalau kalian mau seperti mbak risa
ya silahkan melakukan sepertinya, kataku.”
Aneh ya, semua itu apakah
masih kurang untuk membuktikan tentang siapa Risa. Ada senyum yang amat
getir, yang menusuk-nusuk relung jiwaku. Aku tak pernah mampu melakukan
pembelaan padanya hanya karena aku tak ada di daftar tim eksekutor
kelas. Aku hanyalah seuntai cabe merah diantara cabe rawit. Semua setuju
dan mengiyakan ada dan tiadanya Risa tak pernah berpengaruh pada siklus
kehidupan di dalam sangkar emas ini. Sebegitu hinakah Risa dimata para
eksekutor itu? Allah yang mampu menilai semuanya, dan akan membalas
dengan keadilan-Nya
Mungkin Risa adalah korban dari kebodohan kami.
Aku benar-benar khawatir jika hal tersebut hadir sebagai pemicu atas
yang terjadi pada Risa. Aku sendiri telah melakukan berbagai pendekatan
padanya, namun, berkali-kali pula aku harus menahan kekecewaan karena
hasilnya belum maksimal. Hingga aku tersadar dari tidur panjang ini
ketika ku temukan sebuah buku lusuh di perpustakaan desa yang letaknya
berdampingan dengan kantorku. Ku buka lembaran demi lembaran, ku nikmati
kata demi kata yang terangkai dengan indah, lalu ku masukkan ke dalam
otakku, hingga berkembanglah dendritku menuju keangkasa pemahaman.
Mungkin tingkahnya selama ini adalah perwujudan dari aksi protesnya,
karena ia bukanlah mahasiswa yang bisa melakukan demonstrasi ala mereka.
Ia hanyalah anak kecil yang mampu melakukan aksi demontrasi dengan
caranya. Ia mogok membaca, mogok menulis, mencubit teman, menjegal
teman, menuduh teman dan lain-lain adalah serentetan aksinya agar kami
memahami dirinya. Ia terpuruk pada dunia yang tak ia mengerti.
Ia
laksana musafir padang pasir yang ingin menemukan oase. Ia berselancar
di daerah kutub namun malang baginya, ia terjerumus ke dalam lautan
ganas yang penuh dengan marabahaya. Ia laksana pecinta alam yang sedang
mencoba mendaki untuk menahklukkan gunung Jaya Wijaya, namun di luar
dugaan ia tergelincir ke dalam jurang terjal nan curam. Siapa yang akan
bertanggung jawab atas semua ini? Siapa yang akan menuntunnya
menunjukkan oase padang pasir? Siapa yang akan menjadi penolongnya di
tengah lautan? Dan siapa pula yang akan menyelimuti serta
menghindarkannya dari dinginnya salju Jaya Wijaya serta amukan
binatang buas di tengah malam gelap gulita?
Aku berselancar mencari
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Pusing. Ya tepatnya kepalaku
mengamuk memuntahkan kekesalannya, hingga amat terasa sakit. Aku tak
putus asa, ku mulai lagi berselancar ke dunia nyata dan maya. Namun,
lagi-lagi aku harus menelan kekecewaan, keangkuhan para eksekutor telah
menciptakan dunianya sendiri, merasa sok jagoan, merasa benar sendiri
serta keangkuhannya telah menciptakan dua nurani di dalam jiwanya yang
saling berperang, hingga tak mampu membuat keputusan akhir.
Risa,
begitulah orang menyebutnya. Ia tertinggal jauh dengan teman-temannya
secara akademik dan kematangan emosional. Ia dianggap pengacau sekolah.
Ia tak diberi kesempatan untuk menunjukkan siapa sebenarnya dia. Ia
menutupi semua kelemahannya dengan sikapnya. Ia sengaja melakukan itu
semua dengan harapan akan diakui keberadaannya. Namun, semua yang
melihat dan mendengar juga dengan sengaja menutup mata dan telinga saat
melintasinya. Kehidupannya sungguh bak buah simalakama. Kehidupannya
seperti tak pernah nyata.
Mungkin benar dugaanku, Risa adalah
korban kebodohan kami dan keluarganya serta orang-orang yang berada di
sebelahnya. Orang-orang yang telah menganggapnya tidak ada. Ia adalah
satu diantara Totto-Chan yang hadir di hadapanku, bahkan ribuan yang
telah hadir di muka bumi ini. Ia adalah mahkluk Allah yang memiliki
kekhasan tersendiri. Mungkin selama ini kami telah menghilangkan namanya
dari daftar hadir yang terukir di hati, namun kini ia telah ku ukir
dengan tinta emas dan ku letakkan di sebelah namaku sendiri tanpa malu
dan ragu, bersama Totto-Chan lainnya. Aku sadar ia tak sendiri, karena
aku dulu juga sepertinya. Dan aku telah menjadi korban ketidakmengertian
para eksekutorku dulu. Kini aku tak kan membiarkan seorangpun
mengeksekusi Totto-Chan -Totto-Chan baru dimanapun berada. Aku tak kan
biarkan hatinya terkapar tanpa kekuatan. Aku akan selalu hadir dalam
kehidupan berikutnya tanpa batas, di dunia nyata maupun maya. Bukankah
Allah menciptakan permasalahan yang mampu diselesaikan oleh hamba-Nya.
Andaikan kami tak mampu, bukankah Allah telah berjanji tidak akan
melepaskan kami begitu saja.