Jumat, 05 September 2014

Karena Aku Ada



Karena Aku Ada

Semua yang baru lahir tak mampu ditebak akan menjadi apa. Kecuali, Pak Tarno, si pesulap yang selalu  meminta pertolongan penonton untuk bertepuk tangan dengan irama “Prok...prok-prok-prok jadi apa?” baru akan terjawab. Dan bisa ku pastikan kalian semua mampu mengingat dengan baik tentang pak Tarno. Iya kan? Tapi satu hal yang harus kalian ingat, itu tidak berlaku untuk mendeteksi nasib siapapun, aku, kamu dan termasuk presiden sekalipun.
Semua yang terlahir itu bukanlah siapa-siapa. Itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan semua manusia di muka bumi ini. Tak perlu khawatir, panik, bingung tentang masa depan. Semuanya sudah ada yang mencipta. Semuanya tahu bahwa ketika lahir kita hanya memiliki satu modal, yakni keberanian untuk menatap dunia yang penuh dengan intrik-intrik yang kadang tak bisa dimengerti dan dipahami. Bahkan sangat sulit. Mencerna dunia yang penuh dengan suka dan tidak suka. Tiba-tiba suka dan tiba-tiba tidak suka.
Sama dengannya. Persis. Ia terlahir juga bukan siapa-siapa atau dari keluarga siapa-siapa. Ia hanya dari keluarga biasa dan ia hanya seorang anak perempuan yang biasa pula. Tak ada tanda-tanda ia istimewa. Semakin besarpun tetap tak ada tanda-tanda bahwa ia patut untuk dipertimbangkan, di lihat, bahkan dirasakan kehadirannya. Tidak sama sekali. Dengan tubuhnya yang tambun, pipinya yang tembem, mata bulatnya menjadikan pelengkap bahwa ia tak seharusnya terlahir di muka bumi ini. Ingat! Semuanya serba biasa saja. 
Ia hanya menjadi manusia pelengkap dalam setiap sisi kehidupan di sini. Di sekolah yang megah ini, ia hanya dibutuhkan karena ia mampu membayar biaya pendidikan yang lumayan mahal bagi kalangan menengah ke bawah. Ia hanya menjadikan dirinya pelengkap pelampiasan kemarahan bagi yang tak bersyukur, karena ia mampu menahan rasa sakit hati saat menjadi bahan olokan bagi teman-temannya.
“Say no to Gendut!” teriak gadis cantik nan semampai disusul teriakan kawan-kawannya. Suara riuh mengembang ke penjuru sekolah megah itu. Persis demonstrasi penurunan pejabat.
“Gendut?? Trus aku harus bilang Wow gitu?”
“Dasar gadis pemimpi! Gendut! Huh! Nggak level”
Atau
“Tahu nggak? Setiap aku menatapnya, aku selalu ingat pilem Bagong...ha....ha...ha..!”
Bahkan itu belum seberapa.
“Setiap aku mendengar suaranya, aku seperti sedang terkena letusan gunung Merapi. Jadi saranku kalo lagi deket dengannya kita musti siap-siap terkena longsoran juga”
Dan kau tahu? Setiap sehabis berkata, tawa mereka berderai. Terurai disepanjang gendang telinga yang sempat mendengar, dan itu berarti menambah kasus di negeri tercinta ini tentang Bullying. Terkadang hal itu membuat nyalinya menciut. Mengerut sampai ke titik terendah jiwanya. Laksana benang kusut yang sulit diuraikan. Kalau itu yang terjadi, ia hanya mampu menundukkan wajahnya ke lantai kelas. Ia tumpahkan semua keluh kesahnya pada ubin kelasnya. Karena ia tak mampu menguraikan hatinya lewat nada-nada ataupun tulisan. Dan lengkaplah rasa deritanya. Anehnya, itu hanya berlangsung dalam hitungan jam. sejam, dua jam, dan tiga jam berikutnya ia kembali tersenyum ramah.
Terkadang ia berharap sebuah keajaiban datang menghampirinya. Menyapanya. Mengerti dan memahami semua keadaannya dan membalik semua yang terjadi di depannya seratus delapan puluh derajat. Dan itulah ia menjadi gadis pemimpi. Namun, setiap kali ia bangun dari tidur malamnya, semuanya masih tetap sama. Bagong masih menjadi sandaran nama baginya. Dan semua itu masih menjadi mimpi panjang baginya.
***
Matahari masih tetap bersinar meski waktu berlalu dengan cepat. Pergantian detik ke detik, menit ke menit, hingga musim ke musim menjadi cerita mimpi untuk perubahannya. Keinginannya untuk dianggap ada merasuk ke dalam dirinya. Merangsek semua keinginan yang lainnya. Perjalanan yang ia tempuh sudah cukup menjadi bekal yang hebat untuk masa depannya. Langkahnya kian mantap. Sudut pandangnya berubah. Ia menyadari jika dirinya berbeda. Ia wujudkan keberaniannya menampakkan wajahnya melihat, menatap dunia dengan penuh gairah. Ia mulai berani ikut mewarnai dunianya sendiri. Berawal dari mimpilah semua menjadi ada, hingga suatu hari............
“Wah Bagong sekarang berbeda lho?”
“Oh ya? Bagong!” matanya terbelalak tak percaya.
“Iya. Gadis pemimpi itu.” balasnya.
 “Beda gimana? Sekarang seperti apa? Badannya sudah kendur ya? Atau malah seperti artis sekelas Anisa Chibi?” kata gadis berambut pirang.
“Kalau bener seperti itu, aku akan bilang Wow sambil koprol dari depan kelas sampai pintu gerbang sekolah ini. Gimana? Lumayan keren kan janjiku?”
“Gila ya lho pada? Mana mungkin si Bagong berubah kayak artis.” jawab si pembawa berita, “Maksudku ya, dia berani menolak perbedaan. Ia  mulai nggak terima dengan nama Bagong yang melekat di dirinya! Dan kau tahu?” nafasnya tersenggal-senggal menahan emosinya yang tak tertahankan, “Dunia sudah mulai mengenal dia ketimbang kita!!!”
“Wow...keren. ini akan menjadi berita paling heboh disini!” gadis yang sedari tadi diam saja kini ikut pula menimpali.
Lagi-lagi ia menjadi bahan pergunjingan di seluruh sekolah. Bahkan sampai di kamar mandi. Pergunjingan seru itu tak hanya melibatkan siswa. Seluruh penghuni sekolah ikut terlibat di dalamnya. Guru, Osis, murid biasa hingga Pak Maman si tukang kebun sekolah tak mau ketinggalan. Kau pasti akan terkejut, menganga melihat keajaiban jika kau terlibat langsung di dalam sekolah itu. Pasalnya hal yang tak mungkin dilakukan siapapun tiba-tiba muncul di media lokal bahwa ia telah melakukannya. Bahwa ia mampu menjadikan dirinya bintang bagi kaum marginal. Memang sih serba mungkin, tidak ada yang tidak mungkin, tapi untuk ukuran dia semuanya takkan percaya bahwa ia pelakunya.
***
Pagi itu tak ada mendung yang berkelebat di langit. Itu pertanda hari yang cerah secerah hatinya. Matahari benar-benar lagi berbahagia sebahagia hatinya. Suasana hari itu benar-benar anugerah yang diperuntukkan baginya. Semuanya menghadiahi senyuman paling indah yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Setiap ia berjalan, semua menyapanya dengan sangat ramah. Setiap kali ia membuat sedikit kesalahan tak lagi keluar kata-kata kotor yang menemani. Semuanya tak lagi abu-abu. Semuanya berubah. Hanya ada hitam dan putih saja, persis seperti acara televisi swasta.
Meski begitu ia tak berbangga hati. Meski semua berubah, ia masih tetap sama. Penampilannya tak ada yang berubah. Tubuhnya tetap tambun. Hidungnya masih tetap mancung dan pipinya masih tetep tembem setembem kue apem. Rambutnya tetep kucir satu. Hanya senyumnya yang berubah. Senyum pada dunianya semakin kentara alami, tak basa-basi. Ia hanya menunjukkan dirinya yang asli. Bertaring, tapi tetap lembut.
Kalau engkau terlibat langsung di dalamnya, engkau pasti ikut senang saat melihatnya menjadi dirinya sendiri. Engkau pasti tak kan berhenti memujinya meski gempa melanda negeri. Dan yang pasti engkau takkan lagi mau menghentikan nafasmu meski sejenak, karena engkau inginkan hidup terus untuk melihatnya nanti.
Engkau sebenarnya penasarankan dengan apa yang ia lakukan hingga membuat semuanya berubah. Membuat senyum anak-anak negeri yang tak dianggap. Membuat semuanya kembali ceria. Sebenarnya dia hanya melakukan sedikit perubahan. Ya, tepatnya hanya sedikit sekali. Tapi itu sudah cukup mewakili kaum termarginal seperti kami ini.
Sedikit itulah janjinya untuk merubah semuanya. Sedikit itulah yang menjadikan dia mendapatkan penghargaan dari orang nomer satu di negeri ini. Dan sedikit itulah janjinya pada dirinya sendiri. Ia hanya membuat poster, dan beberapa tulisan saja. Eit....jangan salah meski hanya itu, ia mampu merubah segalanya menjadi seperti sekarang ini.  Posternya juga Cuma poster sederhana, tulisannya juga Cuma “AKU ADA KARENA ENGKAU ADA” dan tulisannya yang dimuat judulnya juga biasa yaitu “KITA ADA KARENA BERBEDA”.
Satu lagi engkau pasti juga penasarankan siapa sebenarnya dia itu? Sebenarnya Dia itu Aku. Bintang Lazuardy.

Blitar, 061213
09.25


Tidak ada komentar:

Stasiun Lempuyangan

Jika Blitar terbuat dari tetesan-tetesan darah para pejuang, maka Jogja tercipta dari sejuta kerinduan. Kerinduan pada keramahan...