Senin, 29 September 2014

hari ini

aku masih berdiri di ujung sini
mengais setiap desahan nafas yang tersembunyi
mencari sisa-sisa amunisi yang telah terkubur
menelusur ke segala arah

aku masih di sini
menatap dengan sedikit emosi
mengeluh dengan sejuta amarah
menangis dengan sisa-sisa air mata
meratap, teriak bahkan terkapar

aku masih di sini
hari ini, kemarin dan esok hari

bukan
bukan mengharap belas kasihmu
bukan mengharap cinta kasihmu

aku masih di sini
maaf.......... bukan untukmu

maaf aku terlalu egois untuk semua yang ada
aku terlalu naif untuk beranjak pergi
aku tak berani mengambil resiko kehancuran
aku bukan bayangan kehidupanmu


aku masih disini, hari ini
untukku sendiri

buat abang

ku lukis kanvas hatiku dengan cat aroma pemberianmu
ku ukir semua kenangan dengan sejuta tinta darimu
hanya darimu......
senja kemarin sangat indah
mengingatkan laku jalanku
menerobos dalam lajur
ditegur lalu dihantam
selebihnya kamu tetap ada

ini aku bungkuskan kotak warna hijau
sehijau warna surga hatimu
seteduh matamu memandangku
kotak ini memang tak terlihat istimewa bang.....
tapi aku mengisinya dengan sejuta kecupan.......
supaya tetap awet dan istimewa

Totto-Chan sekolahku


Risa namanya. Gadis kecil nan cantik yang berusia delapan lebih sedikit. Ia terpaksa harus duduk di kelas dua lagi, karena dalam kenaikan kelas semester genap kemarin telah diputuskan bahwa ia harus tetap tinggal kelas. Banyak cerita darinya. Dari persoalan yang paling sederhana sampai yang luar biasa. Pola berpikirnya telah mampu meracuni hampir seluruh guru di SD swasta tempat ia mendapatkan secercah harapan untuk melintasi jagad raya ini dengan cahaya ilmu.
Hari demi hari, detik demi detik ia lalui dengan masuk seperti biasa. Terlihat dari yang ia lakukan masih sama dengan hari-hari yang lalu. Pagi ia datang dan siang tepat pukul satu ia beranjak meninggalkan dunia bertembok tinggi ini. Baginya tembok raksasa berlantai dua dan bangunan gazebo di depannya ini adalah gedung megah yang telah mencengkeram kekuasaan dan kebebasan dari dunia yang ia miliki. Laksana ia berada dalam sangkar emas, tak bisa ia terbang melanglang jagad.
Begitu banyak kisahnya yang terekam dalam kaset yang berpitakan dendrit-dendritku.seperti peristiwa dua hari yang lalu, ku dapati ia sedang meraung-raung di kantor. Suara bising yang ia keluarkan telah menyebabkan guru-guru cepat beranjak meninggalkan kantor. Termasuk aku. Salah satu temanku tak kuasa mendengar suara elangnya, hingga ia menyeret Risa ke dalam ruang kepala sekolah. Ruangan dengan ukuran dua meter kali tiga meter itu memang jarang dihuni dan tempatnya ada di sebelah kantor guru. Ia merasakan dirinya dalam posisi yang amat sangat terhina, ia tak mampu lagi mengendalikan amarahnya hingga keluarlah dari mulut mungilnya perkataan yang tak pernah pantas di dengar oleh seorang guru dimanapun ia berada, apalagi di sekolah ini. Ia berusaha sekuat tenaga memproklamirkan guru-guru di tempatku dengan kata-kata kasar dan sesukanya. Saat itu kami malu sekali mendengarnya, bukan tanpa alasan melainkan kami berprofesi sebagai guru dan telah mengikrarkan diri mengatasnamakan moral dalam kehidupan.
Risa panggilannya. Ia hanya anak kecil yang belum tahu kapan ia akan mulai melangkahkan kaki menuju dunia yang luas ini. Ia juga belum tahu kapan ia harus memulai kehidupannya yang lebih baik. Ia hanyalah anak kecil yang membutuhkan bantuan untuk melihat masa depannya dengan cara yang ia senangi.
Sering kali ku dengar di dalam rapat ia diangkat sebagai topik hangat, namun cepat-cepat ia ditinggalkan begitu saja. Ia ibarat umpan untuk melangkahkan kaki-kaki kami menuju yang lain. Dengan berbagai argument, beberapa diantara kami berusaha untuk pasrah pada takdir tanpa usaha untuk memperbaikinya. Aneh memang, tapi inilah kenyataan. Kami adalah segerombol pengecut yang mengatasnamakan guru, itulah sebutan bagi kami. Tak perlu canggung mengatakan kepada siapapun tentang nama ini, karena itulah fakta.
Berkali-kali ku dengar ia membuat ulah di sekolah. Ia tak pernah memperdulikan akibat dari tindakannya. Ia tinggalkan begitu saja guru yang mengajarnya dengan segudang permasalahan yang ia lakukan. Ia berbuat jahil kepada teman-temannya, hingga membuat temannya jengkel dan melakukan aksi pembalasan. Tak dapat dihindari lagi pertengkaran terjadi antara mereka. Dan kami mencoba melakukan penyelesaian atas apa yang menimpa mereka. Jika kemenangan berada dipihaknya , senyum terindah ia lontarkan, ia berikan kepada siapapun yang berada di sebelahnya dengan kemenangannya. Namun jika kekalahan yang ia terima, maka terdengarlah suara nyaring mengumandangkan tangisnya, memecah gendang telinga bagi yang mendengarnya.
Pernah suatu hari aku berpikir bahwa ia adalah salah satu korban ketidak adilan Allah terhadap hamba-Nya. Namun ketika aku melihat dari sisi lain yakni menatapnya lebih dekat, ternyata Allah telah menunjukkan keadilan –Nya, dan benar-benar maha adil dengan cara keadilan-Nya.
Aku benar-benar tertarik dengan hidupnya. Dulu ketika ia masih baru di kelas dua, kira- kira satu tahun yang lalu, salah satu temanku mengatakan kepadanya untuk lebih giat lagi belajar, dengan polosnya ia menjawab, “aku ingin jadi artis kok harus baca dan tulis”. Saat itu temanku langsung mengeluarkan jurusnya untuk berkhotbah di depannya. Namun ia tetap Risa yang tak bisa memahami bahasa sang orator ulung. Risa adalah ciptaan dari sang Maha Karya yang hanya mampu menganalisa hidup dengan caranya sendiri.
Setiap hari kamis aku datang lebih awal dari biasanya, karena jatah piket yang aku emban. Sebagai perwujudan rasa tanggung jawabku sekaligus takdir untukku menikmati indahnya pagi. Ku amati setiap siswa yang datang, baik sendiri maupun diantar orang tua, ataupun keluarganya yang lain. Tak lupa ku analisa sang pengantar Risa, siswi pengganti Totto-Chan di sekolahku. Subhanallah, ternyata kakak laki-lakinya yang biasa mengantarnya juga tidak seratus persen normal, ada tanda-tanda yang jelas terlihat dari raut muka serta tingkah lakunya yang telah mampu menunjukkan padaku siapa dia sebenarnya. Apalagi setelah aku mendapatkan keakuratan dari salah satu temanku yang tak jauh tempat tinggalnya dengan keluarga Risa.
Risa namanya. Gadis bungsu dari keluarga yang terbilang kaya di daerahnya. Namun, malang baginya. Jarak yang terlalu jauh antara dirinya dengan saudara yang lainnya telah mempengaruhi hidupnya. Barang yang serba mewahpun juga turut andil dalam membentuk pola pikirnya., orang tuanya yang telah beranjak tua dengan ihklas membiarkan perkembangan yang tidak alami mempengaruhi kehidupan anaknya tercinta.
Pernah suatu hari, saking penasarannya aku terhadap kehidupannya. Aku melakukan investigasi terhadap temanku. Berbagai pertanyaan ku lontarkan. Aku seperti detektif conan yang siap berselancar mengarungi misteri hidup yang terjadi. Bahkan sampai ku tanyakan perkembangan perekonomian keluarganya. Sungguh di luar dugaanku sebagai perwakilan orang tua.
“Maaf ya, bukannya aku suudhon, tapi ini fakta, keluarganya itu setiap hari mendapatkan suntikan dana dari pihak lain. Sebenarnya sih, keluarganya tu mampu, tapi mereka berpikir tu sumbangan, maka ya di terima aja.” Ujar temanku saat itu. Terlihat dari wajahnya yang tak mampu menciptakan ekspresi lagi, karena menurutnya sudah banyak orang yang memberitahukan pada keluarga Risa untuk tidak menerima dana pengganti agama.entahlah berita itu benar atau salah, aku juga tak tahu.
“Apa iya, hal-hal semacam itu mempengaruhi kehidupannya, kecerdasannya, bahkan hatinya?”Tanya temanku yang lain.
“Iya, Insya Allah mempengaruhi semua yang terjadi dalam kehidupan, bukankah itu telah menjadi daging yang membalut tulang-tulang yang ada pada tubuh, maka secara otomatis semua yang terjadi saling mempengaruhi.” Balas temanku.
Otakku berselancar membuka lembaran-lembaran dendrit yang bertumpuk-tumpuk mencari seberkas cerita lima tahun yang lalu saat aku bekerja menjadi terapis. Aku ingat salah satu yang ku terapi adalah anak dengan memiliki kepribadian ganda. Ketika diskusi dan konsultasi dengan seseorang yang lebih paham ilmu kedokteran sekaligus pemahaman agamanya jauh lebih dari kami, memang benar semua yang masuk kedalam tubuh, halal atau tidak telah meramu semua kehidupan manusia.
Haruskah aku bersyukur ketika sang penguasa sekolah tidak menaruh namaku dalam daftar pengajar kelas Risa? Sungguh ini ibarat buah simalakama. Ia tak pernah tahu tentang dosa. Bagaimanapun juga ia tetap anak yang haus akan berbagai cahaya. Sering kali ketika aku melintasi kelasnya, ia hanya terduduk diam tak bergeming, atau ia berjalan-jalan di ruangan, tanpa ada timbal balik dari seorang dewa yang sedang duduk termenung di depan dua puluh siswa. Risa tetaplah Risa yang belum faham tentang kehidupan, bahkan untuk memahami hidupnya sendiri ia belum mampu.
Ada rasa bersalah tiap kali aku melihatnya. Ia laksana malaikat yang selalu menguntitku untuk mencatat semua yang telah ku lakukan. Karena semua penghuni istana sangkar emas ini telah lama menghilangkan daftar nama Risa dalam sanubarinya. Aku tidak bohong, semua itu ada buktinya. Aku tidak mau di anggap penghianat alam bawah sadarku yang mengatas namakan guru, orang yang harus digugu lan ditiru.
Kemarin saat rapat laporan hasil akademik dan permasalahan-permasalahan yang ada di dalam dapur masing-masing kelas. Ada berbagai hal yang dilaporkan. Namun, ketika sang eksekutor kelas dua mengungkapkan permasalahnnya, beliau mengatakan “Semua ini tadi di luar Risa pak, karena semua pasti tahu bagaimana tentang Risa. Intinya daripada saya hanya mengurusi satu anak dan itu Risa, lebih baik saya mengurusi yang lain, yang lebih banyak, lebih pinter, dan pastinya nggak bikin ulah yang aneh-aneh. Nggak nangisan dan lain-lain. Pernah ketika saya mengajar, ada beberapa anak yang lain itu protes tentang Risa, trus aku jawab kalau kalian mau seperti mbak risa ya silahkan melakukan sepertinya, kataku.”
Aneh ya, semua itu apakah masih kurang untuk membuktikan tentang siapa Risa. Ada senyum yang amat getir, yang menusuk-nusuk relung jiwaku. Aku tak pernah mampu melakukan pembelaan padanya hanya karena aku tak ada di daftar tim eksekutor kelas. Aku hanyalah seuntai cabe merah diantara cabe rawit. Semua setuju dan mengiyakan ada dan tiadanya Risa tak pernah berpengaruh pada siklus kehidupan di dalam sangkar emas ini. Sebegitu hinakah Risa dimata para eksekutor itu? Allah yang mampu menilai semuanya, dan akan membalas dengan keadilan-Nya
Mungkin Risa adalah korban dari kebodohan kami. Aku benar-benar khawatir jika hal tersebut hadir sebagai pemicu atas yang terjadi pada Risa. Aku sendiri telah melakukan berbagai pendekatan padanya, namun, berkali-kali pula aku harus menahan kekecewaan karena hasilnya belum maksimal. Hingga aku tersadar dari tidur panjang ini ketika ku temukan sebuah buku lusuh di perpustakaan desa yang letaknya berdampingan dengan kantorku. Ku buka lembaran demi lembaran, ku nikmati kata demi kata yang terangkai dengan indah, lalu ku masukkan ke dalam otakku, hingga berkembanglah dendritku menuju keangkasa pemahaman.
Mungkin tingkahnya selama ini adalah perwujudan dari aksi protesnya, karena ia bukanlah mahasiswa yang bisa melakukan demonstrasi ala mereka. Ia hanyalah anak kecil yang mampu melakukan aksi demontrasi dengan caranya. Ia mogok membaca, mogok menulis, mencubit teman, menjegal teman, menuduh teman dan lain-lain adalah serentetan aksinya agar kami memahami dirinya. Ia terpuruk pada dunia yang tak ia mengerti.
Ia laksana musafir padang pasir yang ingin menemukan oase. Ia berselancar di daerah kutub namun malang baginya, ia terjerumus ke dalam lautan ganas yang penuh dengan marabahaya. Ia laksana pecinta alam yang sedang mencoba mendaki untuk menahklukkan gunung Jaya Wijaya, namun di luar dugaan ia tergelincir ke dalam jurang terjal nan curam. Siapa yang akan bertanggung jawab atas semua ini? Siapa yang akan menuntunnya menunjukkan oase padang pasir? Siapa yang akan menjadi penolongnya di tengah lautan? Dan siapa pula yang akan menyelimuti serta menghindarkannya dari dinginnya salju Jaya Wijaya serta amukan binatang buas di tengah malam gelap gulita?
Aku berselancar mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Pusing. Ya tepatnya kepalaku mengamuk memuntahkan kekesalannya, hingga amat terasa sakit. Aku tak putus asa, ku mulai lagi berselancar ke dunia nyata dan maya. Namun, lagi-lagi aku harus menelan kekecewaan, keangkuhan para eksekutor telah menciptakan dunianya sendiri, merasa sok jagoan, merasa benar sendiri serta keangkuhannya telah menciptakan dua nurani di dalam jiwanya yang saling berperang, hingga tak mampu membuat keputusan akhir.
Risa, begitulah orang menyebutnya. Ia tertinggal jauh dengan teman-temannya secara akademik dan kematangan emosional. Ia dianggap pengacau sekolah. Ia tak diberi kesempatan untuk menunjukkan siapa sebenarnya dia. Ia menutupi semua kelemahannya dengan sikapnya. Ia sengaja melakukan itu semua dengan harapan akan diakui keberadaannya. Namun, semua yang melihat dan mendengar juga dengan sengaja menutup mata dan telinga saat melintasinya. Kehidupannya sungguh bak buah simalakama. Kehidupannya seperti tak pernah nyata.
Mungkin benar dugaanku, Risa adalah korban kebodohan kami dan keluarganya serta orang-orang yang berada di sebelahnya. Orang-orang yang telah menganggapnya tidak ada. Ia adalah satu diantara Totto-Chan yang hadir di hadapanku, bahkan ribuan yang telah hadir di muka bumi ini. Ia adalah mahkluk Allah yang memiliki kekhasan tersendiri. Mungkin selama ini kami telah menghilangkan namanya dari daftar hadir yang terukir di hati, namun kini ia telah ku ukir dengan tinta emas dan ku letakkan di sebelah namaku sendiri tanpa malu dan ragu, bersama Totto-Chan lainnya. Aku sadar ia tak sendiri, karena aku dulu juga sepertinya. Dan aku telah menjadi korban ketidakmengertian para eksekutorku dulu. Kini aku tak kan membiarkan seorangpun mengeksekusi Totto-Chan -Totto-Chan baru dimanapun berada. Aku tak kan biarkan hatinya terkapar tanpa kekuatan. Aku akan selalu hadir dalam kehidupan berikutnya tanpa batas, di dunia nyata maupun maya. Bukankah Allah menciptakan permasalahan yang mampu diselesaikan oleh hamba-Nya. Andaikan kami tak mampu, bukankah Allah telah berjanji tidak akan melepaskan kami begitu saja.



Jumat, 05 September 2014

Karena Aku Ada



Karena Aku Ada

Semua yang baru lahir tak mampu ditebak akan menjadi apa. Kecuali, Pak Tarno, si pesulap yang selalu  meminta pertolongan penonton untuk bertepuk tangan dengan irama “Prok...prok-prok-prok jadi apa?” baru akan terjawab. Dan bisa ku pastikan kalian semua mampu mengingat dengan baik tentang pak Tarno. Iya kan? Tapi satu hal yang harus kalian ingat, itu tidak berlaku untuk mendeteksi nasib siapapun, aku, kamu dan termasuk presiden sekalipun.
Semua yang terlahir itu bukanlah siapa-siapa. Itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan semua manusia di muka bumi ini. Tak perlu khawatir, panik, bingung tentang masa depan. Semuanya sudah ada yang mencipta. Semuanya tahu bahwa ketika lahir kita hanya memiliki satu modal, yakni keberanian untuk menatap dunia yang penuh dengan intrik-intrik yang kadang tak bisa dimengerti dan dipahami. Bahkan sangat sulit. Mencerna dunia yang penuh dengan suka dan tidak suka. Tiba-tiba suka dan tiba-tiba tidak suka.
Sama dengannya. Persis. Ia terlahir juga bukan siapa-siapa atau dari keluarga siapa-siapa. Ia hanya dari keluarga biasa dan ia hanya seorang anak perempuan yang biasa pula. Tak ada tanda-tanda ia istimewa. Semakin besarpun tetap tak ada tanda-tanda bahwa ia patut untuk dipertimbangkan, di lihat, bahkan dirasakan kehadirannya. Tidak sama sekali. Dengan tubuhnya yang tambun, pipinya yang tembem, mata bulatnya menjadikan pelengkap bahwa ia tak seharusnya terlahir di muka bumi ini. Ingat! Semuanya serba biasa saja. 
Ia hanya menjadi manusia pelengkap dalam setiap sisi kehidupan di sini. Di sekolah yang megah ini, ia hanya dibutuhkan karena ia mampu membayar biaya pendidikan yang lumayan mahal bagi kalangan menengah ke bawah. Ia hanya menjadikan dirinya pelengkap pelampiasan kemarahan bagi yang tak bersyukur, karena ia mampu menahan rasa sakit hati saat menjadi bahan olokan bagi teman-temannya.
“Say no to Gendut!” teriak gadis cantik nan semampai disusul teriakan kawan-kawannya. Suara riuh mengembang ke penjuru sekolah megah itu. Persis demonstrasi penurunan pejabat.
“Gendut?? Trus aku harus bilang Wow gitu?”
“Dasar gadis pemimpi! Gendut! Huh! Nggak level”
Atau
“Tahu nggak? Setiap aku menatapnya, aku selalu ingat pilem Bagong...ha....ha...ha..!”
Bahkan itu belum seberapa.
“Setiap aku mendengar suaranya, aku seperti sedang terkena letusan gunung Merapi. Jadi saranku kalo lagi deket dengannya kita musti siap-siap terkena longsoran juga”
Dan kau tahu? Setiap sehabis berkata, tawa mereka berderai. Terurai disepanjang gendang telinga yang sempat mendengar, dan itu berarti menambah kasus di negeri tercinta ini tentang Bullying. Terkadang hal itu membuat nyalinya menciut. Mengerut sampai ke titik terendah jiwanya. Laksana benang kusut yang sulit diuraikan. Kalau itu yang terjadi, ia hanya mampu menundukkan wajahnya ke lantai kelas. Ia tumpahkan semua keluh kesahnya pada ubin kelasnya. Karena ia tak mampu menguraikan hatinya lewat nada-nada ataupun tulisan. Dan lengkaplah rasa deritanya. Anehnya, itu hanya berlangsung dalam hitungan jam. sejam, dua jam, dan tiga jam berikutnya ia kembali tersenyum ramah.
Terkadang ia berharap sebuah keajaiban datang menghampirinya. Menyapanya. Mengerti dan memahami semua keadaannya dan membalik semua yang terjadi di depannya seratus delapan puluh derajat. Dan itulah ia menjadi gadis pemimpi. Namun, setiap kali ia bangun dari tidur malamnya, semuanya masih tetap sama. Bagong masih menjadi sandaran nama baginya. Dan semua itu masih menjadi mimpi panjang baginya.
***
Matahari masih tetap bersinar meski waktu berlalu dengan cepat. Pergantian detik ke detik, menit ke menit, hingga musim ke musim menjadi cerita mimpi untuk perubahannya. Keinginannya untuk dianggap ada merasuk ke dalam dirinya. Merangsek semua keinginan yang lainnya. Perjalanan yang ia tempuh sudah cukup menjadi bekal yang hebat untuk masa depannya. Langkahnya kian mantap. Sudut pandangnya berubah. Ia menyadari jika dirinya berbeda. Ia wujudkan keberaniannya menampakkan wajahnya melihat, menatap dunia dengan penuh gairah. Ia mulai berani ikut mewarnai dunianya sendiri. Berawal dari mimpilah semua menjadi ada, hingga suatu hari............
“Wah Bagong sekarang berbeda lho?”
“Oh ya? Bagong!” matanya terbelalak tak percaya.
“Iya. Gadis pemimpi itu.” balasnya.
 “Beda gimana? Sekarang seperti apa? Badannya sudah kendur ya? Atau malah seperti artis sekelas Anisa Chibi?” kata gadis berambut pirang.
“Kalau bener seperti itu, aku akan bilang Wow sambil koprol dari depan kelas sampai pintu gerbang sekolah ini. Gimana? Lumayan keren kan janjiku?”
“Gila ya lho pada? Mana mungkin si Bagong berubah kayak artis.” jawab si pembawa berita, “Maksudku ya, dia berani menolak perbedaan. Ia  mulai nggak terima dengan nama Bagong yang melekat di dirinya! Dan kau tahu?” nafasnya tersenggal-senggal menahan emosinya yang tak tertahankan, “Dunia sudah mulai mengenal dia ketimbang kita!!!”
“Wow...keren. ini akan menjadi berita paling heboh disini!” gadis yang sedari tadi diam saja kini ikut pula menimpali.
Lagi-lagi ia menjadi bahan pergunjingan di seluruh sekolah. Bahkan sampai di kamar mandi. Pergunjingan seru itu tak hanya melibatkan siswa. Seluruh penghuni sekolah ikut terlibat di dalamnya. Guru, Osis, murid biasa hingga Pak Maman si tukang kebun sekolah tak mau ketinggalan. Kau pasti akan terkejut, menganga melihat keajaiban jika kau terlibat langsung di dalam sekolah itu. Pasalnya hal yang tak mungkin dilakukan siapapun tiba-tiba muncul di media lokal bahwa ia telah melakukannya. Bahwa ia mampu menjadikan dirinya bintang bagi kaum marginal. Memang sih serba mungkin, tidak ada yang tidak mungkin, tapi untuk ukuran dia semuanya takkan percaya bahwa ia pelakunya.
***
Pagi itu tak ada mendung yang berkelebat di langit. Itu pertanda hari yang cerah secerah hatinya. Matahari benar-benar lagi berbahagia sebahagia hatinya. Suasana hari itu benar-benar anugerah yang diperuntukkan baginya. Semuanya menghadiahi senyuman paling indah yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Setiap ia berjalan, semua menyapanya dengan sangat ramah. Setiap kali ia membuat sedikit kesalahan tak lagi keluar kata-kata kotor yang menemani. Semuanya tak lagi abu-abu. Semuanya berubah. Hanya ada hitam dan putih saja, persis seperti acara televisi swasta.
Meski begitu ia tak berbangga hati. Meski semua berubah, ia masih tetap sama. Penampilannya tak ada yang berubah. Tubuhnya tetap tambun. Hidungnya masih tetap mancung dan pipinya masih tetep tembem setembem kue apem. Rambutnya tetep kucir satu. Hanya senyumnya yang berubah. Senyum pada dunianya semakin kentara alami, tak basa-basi. Ia hanya menunjukkan dirinya yang asli. Bertaring, tapi tetap lembut.
Kalau engkau terlibat langsung di dalamnya, engkau pasti ikut senang saat melihatnya menjadi dirinya sendiri. Engkau pasti tak kan berhenti memujinya meski gempa melanda negeri. Dan yang pasti engkau takkan lagi mau menghentikan nafasmu meski sejenak, karena engkau inginkan hidup terus untuk melihatnya nanti.
Engkau sebenarnya penasarankan dengan apa yang ia lakukan hingga membuat semuanya berubah. Membuat senyum anak-anak negeri yang tak dianggap. Membuat semuanya kembali ceria. Sebenarnya dia hanya melakukan sedikit perubahan. Ya, tepatnya hanya sedikit sekali. Tapi itu sudah cukup mewakili kaum termarginal seperti kami ini.
Sedikit itulah janjinya untuk merubah semuanya. Sedikit itulah yang menjadikan dia mendapatkan penghargaan dari orang nomer satu di negeri ini. Dan sedikit itulah janjinya pada dirinya sendiri. Ia hanya membuat poster, dan beberapa tulisan saja. Eit....jangan salah meski hanya itu, ia mampu merubah segalanya menjadi seperti sekarang ini.  Posternya juga Cuma poster sederhana, tulisannya juga Cuma “AKU ADA KARENA ENGKAU ADA” dan tulisannya yang dimuat judulnya juga biasa yaitu “KITA ADA KARENA BERBEDA”.
Satu lagi engkau pasti juga penasarankan siapa sebenarnya dia itu? Sebenarnya Dia itu Aku. Bintang Lazuardy.

Blitar, 061213
09.25


Senin, 14 April 2014

Karena aku laki-laki





“Karena aku laki-laki.” jawab pak karto sewaktu ditanya anak semata wayangnya.
Osy kecil telah belajar tentang perubahan. Ia mengamati pak Karto dari kakinya hingga ujung rambutnya yang mulai beruban. Osy kecil mulai mengenal kehidupan. Ia mencoba mencari tahu tentang arti keluarga.
Selasa yang mendebarkan bagi Osy. Tak seperti hari-hari sebelumnya. Hari ini osy akan  melaksanakan ujian akhir sekolah berstandar nasional. Semalam ia tak nyenyak tidurnya, ia punya dua harapan dalam ujian mata pelajaran IPA kali ini. Harapan pertama nilai hasil ujian memuaskan, dan yang kedua adalah akan ada soal tentang perubahan pada laki-laki yang akan ia jawab dengan jawaban pemberian ayahnya yaitu karena aku laki-laki.
Bel telah dibunyikan pertanda ujian akan dimulai. Osy benar-benar menyiapkan jawaban itu. Ia percaya jawaban itulah yang tepat, namun Osy benar-benar kecewa karena soal yang diinginkan tak pernah muncul.
****************
Osy masih saja mengamati perubahan-perubahan yang terjadi pada ayahnya. Mulai dari satu kerutan hingga kerutan itu tak terhitung. Osy selalu penasaran dengan apa yang dilihat di wajah ayahnya. Hingga ia beranikan bertanya berulang kali tentang kerutan yang semakin bertambah. Dan anehnya, jawaban itu selalu sama yaitu karena aku laki-laki.
Osy kecil telah tumbuh menjadi seorang mahasiswi. Berbagai macam buku ia lahap. Semua itu karena ia masih tetap penasaran tentang perubahan kerutan diwajah ayahnya. Kerutan yang selalu bertambah, dan ia tak bisa mencegahnya.
Suatu hari, bu karto baru saja selesai memasak di dapur bersama Osy. Rasa penasaran tentang kerutan kembali mengusik pikirannya. Apakah ibu mau untuk menjawab pertanyaan yang sama. Bukankah dulu aku pernah bertanya tentang itu, dan kau tahu? Ibu hanya menjawab itu sudah takdirnya. Sayangnya Osy tidak puas dengan jawaban itu.
”bu, bolehkah aku bertanya?” tanya Osy penuh keraguan.
”Hem...........”jawan bu  karto.
”bu, kenapa ya badan ayah kian berkerut, dan badannya kian membungkuk?” tanya Osy.
”karena ayahmu itu laki-laki yang bertanggung jawab. Kamu itu lho dari dulu kok yo tidak berubah.”
”maksudnya bu?”
”laki-laki diciptakan Tuhan sebagai pemimpin keluarga dan sebagai tiang penyangga bangunan keluarga, maka dia akan berusaha sekuat tenaga untk memimpin dan menyangga supaya tidak roboh. Dia diciptakan dengan bahu yang kekar dn berotot supaya ia mampu melindungi keluarganya dri segala marabahaya. Dia diberi kemauan agar berusaha sekuat tenaga untuk memberikan nafkah keluarganya dengan harta yang halal lagi bersih. Dia diberikan keperkasaan dan mental baja supaya dia membuat dirinya pantang menyerah demi keluarganya. Diberikan didalam hidupnya penuh dengan keletihan dan kepayahan. Dan yang harus kamu ingat, diberikan Tuhan kerutan diwajah ayahmu, karena itu sebagai bukti bahwa ayahmu berusaha sekuat daya pikirnya untuk mencari cara supaya keluarga kita hidup bahagia apapun yang terjadi. Itulah ayahmu, laki-laki yang bertanggung jawab penuh terhadap keluarga,”
Osy terdiam. Tak bisa ia mengeluarkan sepatah katapun dari bibirnya. Ia berlari menuju ayahnya yang sedang sujud kepada Tuhannya. Air mata menetes tak terkendali. Ayahnya baru sja mengucapkan salam. Osy langsung memeluk ayahnya, beribu ucapan terima kasih meluncur dari bibirnya. Penasarannya kini telah terjawab jelas. benar kata ayah, karena ayah laki-laki.
Duwet, 22 januari 2012
Pukul 21.39

Pesona Sang Hordok



( merajuk mimpi )
            “Din, sepedamu kok jadul, alias hordok gitu lho…” celetuk Agung dengan mulut yang mencibir. “Apa kamu nggak malu?”
            “Malu!! Mending sepedaku daripada sepedamu kan? Makanya ngaca dulu sebelum mulut bunyi!” balasku geram.
            Berulang kali sepeda membuat hatiku kesal. Marah. Hingga persoalan-persoalan kecil  apalagi yang menyangkut kebutuhan fisik, selalu menjadikan darahku mendidih. Mau tidak mau, aku harus menyadari keberadaanku. Aku terlahir sebagai anak kelima dari enam bersaudara dan bapakku hanyalah seorang Pegawai Negeri Sipil alias PNS yang gajinya hanya cukup untuk makan dan membayar tagihan selama lima belas hari.
            “Sepeda itu kan masih layak pakai, Din.” Kata emak suatu hari ketika aku protes tentang sepeda yang sudah lima turunan itu. Aku yang merasa sudah mulai gede, tak mampu lagi membantah suara emak. Tiap kali aku merasa malu, kata-kata itulah yang sering kali terngiang di telingaku. Laksana mengakar dalam relung jiwaku. Menyatu menorehkan harapan agar aku tak pernah malu.
            “Beliau itu wakil Allah, Din. Jadi apa yang beliau lakukan pasti sudah masuk ke dalam hitungannya. Yang sabar ya?” Ujar mbak Rini tiap kali aku mengeluh tentang keberadaan sepeda kepadanya.
            Pagi ini  mendung masih bergelayut manja di dalam hatiku. Kelas 2-1 yang biasanya ramai, kini sepi sekali. Pelajaran olah raga telah membawa anak-anak ke lapangan. Tinggallah aku sendiri terdiam dalam sunyi setelah mendapatkan ijin untuk tidak mengikuti kegiatan lapangan  dikarenakan baru saja sembuh dari bakteri penyebab diare. Ku tatap teman-teman yang sedang berlari mengelilingi lapangan. Dan tanpa kusadari otakku berselancar mengingat kejadian pagi tadi saat berangkat sekolah. Di hatiku sedang bertengger marah yang merajam. Bagaimana aku tidak marah? Kakakku nanti dibelikan sepeda mini, gara-gara dia malu menggunakan sepeda lama. Jujur, aku juga malu, tapi kalau emak sudah ikut berbicara, aku tak mampu lagi berkutik bahkan dengan alasan apapun.
            Pernah suatu hari aku mengajukan kepada orang tuaku untuk membelikan sepeda. Namun, bapak selalu mengatakan tabungan itu untuk biaya melanjutkan sekolah nanti. Sungguh tega jika tabungan itu harus terkuras hanya untuk memenuhi rasa malu yang diterima mbak Rini. Apa yang ada di dalam pikirannya?
            “Door…, ayo nglamun apa?” teriak Nana di samping telingaku. “tuh! Di lihat Zaki dari tadi.”
            “Apaan sih?” balasku sambil melihat kelas sebelah. Ku lihat Zaki mengalihkan pandangan.
            “Din napa nggak terima aja sih, Zaki. Kurang apa coba? Ganteng, tajir, pinter, pokoknya banyak deh lebihnya!” ujar Nana.
            “Bukan begitu Na. kamu kan tahu aku ma dia bagaikan langit ma bumi. Dia langit sedang aku bumi. Dia bawa harley, ku bawa….”
            “Mulai deh…terserah kamu aja, aku tak mau ikut campur.”ungkap Nana kesal.
            Ada rasa lain saat Nana mengomentari kehidupan sang selebriti SMA tempatku berteduh dari badai kedunguan. Sedikit reda rasa amarah dalam jiwaku. Sedikit lupa tentang sepedaku. Ada rasa senang yang tiba-tiba menyelinap di sela-sela taman hati. Namun, aku harus cepat menghancurkannya. Aku harus tetap berpijak di bumi nan penuh dengan cerita misteri ini..
            “Masuk jeng…” ujar Andi yang terkenal play boy di sekolah.
            Aku menatap semua teman yang telah rapi di meja masing-masing tersenyum penuh kemenangan. Ada sesuatu yang membuat kelasku terlihat nyaman, padahal sekarang matematika sedang menanti giliran. Pesawat kertas itu jatuh tepat di meja Nana. Terlihat ukiran tangan Surya, sang laskar cinta. Tersadar aku dari semua yang terjadi ternyata pak Dodik tidak masuk. Tiba-tiba terdengar tepuk tangan paling meriah di kelasku, saat sang pujangga cinta mengalirkan syair –syair yang membuatku muak.
            “Sebagai penutup puisiku hari ini, aku ingin menunjukkan foto terbaru dari koleksiku. Kalian boleh melihat semuanya dengan gratis..tis…tis!!!”
            semua teman-temanku maju dan mengelilingi Andi. Mereka ingin menyaksikan pada siapa sang pujangga melabuhkan cintanya yang kesekian kali. Aku tetap tak bergeming dari tempat dudukku. Dari tangan Andi terlihat foto dengan ukuran 10 R.
            “Tenang teman-teman, hari ini semua boleh lihat kok.”ujar Andi.
            Tiba-tiba terdengarlah gelegar tawa renyah dari teman-teman yang di depan. Semua mata beralih menatapku. Aneh. Seperti tak pernah lihat aku saja. Dengan wajah muram, Nana memberitahuku tentang foto itu. Mataku terbelalak tajam tak percaya. Dengan gerakan yang terlatih aku menghampiri Andi. Tak sia-sia selama ini aku belajar karate. Kemarahan dari pagi tak bisa ku bendung. Ku rebut foto itu dan ku robek-robek hingga membentuk butiran-butiran salju yang jatuh mengelilingi gunung Jaya Wijaya.
            “Gila kamu ya! Apa belum puas selama ini kamu menghina aku, maumu apa sih?? Kurang kerjaan. Dasar orang aneh. Ingat ya macam-macam lagi ma aku. Awas lho!!” cerocosku.
            “Siapa takut?” balas Andi dengan wajah yang amat menyebalkan.
            Dengan gerakan yang tak terkendali ku cengkeram krah baju Andi. Ingin ku telan dia bulat-bulat. Aku seperti elang buas yang tak pernah takut dengan siapa yang dihadapi. Ingin ku bawa ia terbang dan ku hempaskan ke bumi. Aku muak dengan perseteruan ini.
            “Din…Dina….sabar..sudah..lepaskan!” perintah  Farhan sang penanggung jawab kelas. Ia selalu berpura-pura untuk bijaksana, padahal ia selalu membela yang berduit.
            Nana berusaha menarikku untuk melepaskan cengkeraman tanganku. Namun, aku masih bertahan dengan sejuta kekuatan yang tersisa. Berulang kali ku dengar suara teman-teman menentramkan suasana. Hingga seperti ceracauan burung. Telingaku benar-benar telah tertutup.
            “sekali lagi kamu membuat ulah, awas! Aku tak main-main! Semua hinaanmu itu bukan kesalahanku!!. Tanya sama Tuhan sana!! Apa aku salah jika aku tak punya seperti yang kamu miliki? Atau aku juga salah karena aku harus lahir ke bumi? Jawab!!!” teriakku
            “Gubraaak…..!!!” tangan kiriku memukul meja Risa, sementara tangan kananku tetap memegangi baju Andi. Semua ini wujud kekesalanku selama ini. Ku lihat mata Andi terbelalak. Selama ini mereka lupa bahwa aku diam bukan karena aku tidak marah, tapi aku seperti bom yang siap meledak kapan saja dan dimana saja. Mulutnya menganga, seakan-akan ia melihat pemandangan aneh. Dan “aku tak percaya” gumamnya.
            “Din, sudahlah..jangan kau hiraukan dia. Din aku mohon, lepaskan dia, kita duduk.” Ucap Nana lembut sekali, seperti air gemericik yang mampu menerapi setiap manusia yang menghampirinya.
             Hanya dia yang mampu menghargai setiap keputusan yang telah terjadi dengan bijaksana. Hidup sederhana dan apa adanya telah menjadikannya mampu mengatur semua. Beda dengan yang lain. Mereka menganggapku seperti batu yang siap dilempar kemanapun mereka suka, atau bahkan mereka menganggapku seperti sampah kelas. Aku akui di kelasku  terlihat jelas kesenjangannya. Hampir semuanya siap dengan materi. Hanya aku saja yang kesasar menerobos masuk melewati garis finis lebih dulu sehingga aku terpasung pada kurikulum kelas unggulan tanpa biaya.
            “Sory Din, aku salah. Kupikir kamu tak kan bisa marah? Sory tadi hanya becanda.” Ujar Andi.
            Nana berusaha keras membantu Andi melepaskan cengkeramanku. Dan akhirnya terbebaslah ia dari cakar elangku yang siap memangsa. Aku dituntun Nana kembali ke tempat dudukku. Kelasku benar-benar hening. Tak lagi terdengar suara canda maupun tawa .hanya sesekali terdengar teriakan dari kelas lain yang sedang  belajar. Semuanya sibuk membuka lembaran-lembaran kertas yang membuatku semakin muak untuk bertahan di kelas. Hingga belpun terdengar tanda pelajaran berakhir.
            Kukayuh sepeda dan kurenungi semua yang terjadi hari ini. Arogan sekali perlakuanku. Begitu tegakah aku terhadap teman-temanku. Aku, perempuan berjilbab berani melakukan kekerasan. Masya Allah syetan apa yang telah meracuni jiwaku?  Tapi, apa salahku? Bukan aku yang menginginkan untuk dilahirkan dalam kondisi seperti ini. Sungguh aku tak pernah memohon tentang kemiskinan dalam hidupku! Pikirku.
            Pikiranku bermain sendiri menelusuri lekuk-lekuk korteks. Mengembara pada foto yang ku robek tadi. Sungguh aku tak percaya dengan apa yang ku lihat tadi. Aku sedang naik sepeda ada dalam cetakan dan berada di tangan Andi, sungguh sangat memalukan. Perlahan namun pasti telah membuat dua roda sepedaku bergerak dan melaju menuju peraduanku. Sesampai di rumah segera kuambil air putih untuk melegakan tenggorokan yang protes dan ku masukkan makanan seadanya sebagai pengusir lapar dan mengantarkan aku untuk menikmati ibadah sekaligus tidur.
            Kejengkelanku belum juga berakhir. Ketika matahari mulai menampakkan warna kekuningan, kudengar suara bapak memanggil mbak Rini untuk melihat sepeda barunya. Hingga kusengaja menghabiskan waktu di dalam ruangan tiga meter persegi ini. Kukunci dan kuhempaskan badanku di atas dipan, kubiarkan otak dan hatiku bercengkrama dan saling beradu argumentasai memecahkan persoalan yang sedang terjadi. Sesekali aku keluar hanya untuk makan dan mengambil air wudlu, bahkan badanku yang bau keringatpun tak kuhiraukan lagi.
            Rupa-rupanya siang beranjak meninggalkan nusantara ini, berganti dengan malam. Suara alampun mulai terdengar, menyeruak dari balik dedaunan yang tertiup angin. Aku masih saja menikmati kesendirian dengan memandang bintang di langit yang sedang gemerlapan melalui jendela mungil kamarku. Hingga aku terbuai dalam mimpi.
            Hembusan angin tengah malam sengaja membangunkanku. Kulaporkan lagi kejadian  kemarin siang kepada sang Pencipta, dengan segenap keyakinanku, meskipun sudah lima kali lebih aku mengadu dengan tumpahan air mata. Tak apa ini adalah sebuah waktu yang tepat untukku mengutarakan semuanya. Kupasrahkan semuanya dan aku percaya pasti ini yang terbaik untukku. Di sepertiga malam yang hening ini telah menjadi saksi sejarah pertemuanku dengan sang Penguasa Alam.
            “Din, subuh, sholat sekalian.” Ujar emak dari balik pintu.
            “Iya” balasku.
            Kulakukan aktivitas pagi ini dengan penuh kepasrahan dan keikhlasan. Akan aku sambut hari ini dengan senyum terindahku bukan kritikan karena aku yakin alam akan menyambutku dengan sinarnya yang terang. Tepat pukul enam lebih tigapuluh menit aku berangkat menuju SMA tempatku mencari pencerahan pikiran dan badan. Aku tak akan lagi berangan-angan tentang waktu yang penuh sesak, karena jika aku butuh, aku harus meluangkannya.
            Aku bahagia dengan keseharianku pasca perang dengan Andi lusa kemarin. Pasalnya tak ada lagi yang berani menggangguku. Inilah duniaku, penuh dengan kemerdekaan. Aku bukan budak yang bisa dijualbelikan. Aku manusia yang butuh dihargai dan dihormati. Hingga hari keempat ini aku merasa ada kemenangan. Namun…..            ‘Din, nyadar nggak? kalo Andi udah tiga hari ini nggak masuk? Jangan-jangan karena kasusmu kemarin?” Tanya Nana
            “Bukan urusanku, Na.” balasku cuek.
            “Iya sih, tapi kok nggak ada surat izin ya?”
            Tiba-tiba terdengar suara Farhan sang eksekutor kelas pidato di depan ketika jam istirahat.
            “Teman-teman, sudah tiga hari ni si Andi nggak masuk sekolah. Dia sedang terbaring di rumah sakit. Aku pribadi berharap temen-temen menjenguknya, sendiri atau bersama sebagai wujud kepedulian kita.”
            “Sakit pa Han?” tanya Risa.
            “Dia…hem hem….dia……”
            “Dia kenapa? Muntaber? Sekarang kan lagi musim, ya kan temen-temen?” ucap Risa penasaran.
            “Nggak, dia mencoba melakukan bunuh diri dengan minum racun serangga, dan tolong usahakan ini kita saja yang tahu!!”
            Ku lihat teman-teman saling berbisik dan sesekali terdengar usul dari mereka. Aku sendiri merasa tak bingung dengan kondisi Andi. Senang atau tidak dengan kondisinya sekarang? Aku tak tahu, yang jelas aku sudah kenal dia lebih dulu daripada teman yang lain. Mungkin ini jalan yang terbaik untuk memperbaiki hubunganku dengannya, bisik batinku.
            “Barangkali kau  punya usul, Din?” Tanya Farhan.
            Aku hanya menggelengkan kepala. Akupun tak yakin itu pertanyaan tulus yang keluar dari mulutnya, barangkali itu hanya sebuah basa-basi sebagai pengacau ruangan supaya tak terlalu tegang. Ingin aku keluar dari kelas dan menikmati angin ini sendirian. Namun, naluriku berkata aku harus mulai terbuka dengan teman-teman di sini. Mereka akan tetap menjadi bagian dalam sejarah hidupku kelak.
            “Gimana kalo kita jenguk rame-rame, biar dia tak merasa sepi, trus kita agak lama dikit. Atau gentian beberapa temen hari ini, dan beberapa temen yang lain besok.” Usul Nana.
            “Setujuuuu…..” suara penghuni kelas 2-1 terdengar kompak sekali.
            “ Ok…kita bagi tiga kelompok, kelompok pertama ntar pulang sekolah aku, Aris, Agung, Nana, Dina dan Risa jenguk hari ini. Trus kalian bisa bagi lagi jadi dua kelompok untuk besok dan lusa.”
            Terdengar suara teman-teman yang sedang memilih kelompok. Belum sempat aku beranjak, bel masukpun nyaring terdengar di seantero sekolah. Bertemu juga akhirnya dengan Bu Ninik, sang eksekutor kelas. Apapun pelajarannya, Bu Niniklah yang menentukan untuk lanjut atau berhenti sebentar alias tidak naik kelas. Nasehat demi nasehat meluncur dari bibir mungil sang guru cantik ini. Tak pernah kami bosan mendengarnya. Pelajaran biologi yang sulit, disulapnya menjadi pelajaran yang paling digandrungi oleh semua siswa. Dua jam pelajaran menjadi tak terasa. Serasa ingin bersamanya. 
            Hari-hari telah merubah setiap insan menjadi hamba yang lebih baik. Meraih setiap mimpi. Menerobos celah-celah bumi belahan lain. Menciptakan pertambahan neurit dan dendrite yang sedemikian pesat, hingga kelasku tak pernah mendengar kata-kata cacian seperti dungu dan bodoh. Laksana ksatria, aku menunggu bel pulang hari ini. Apapun yang akan terjadi nanti itu adalah campur tangan manusia dengan sang Pencipta. Aku hanya berusaha, Allah yang menentukan jua. Ku mantapkan hati untuk menjenguk Andi di rumah sakit.
            “Din, sepedamu dititipkan di rumah depan ja, kita boncengan pake motorku. Nggak pa-pa kan?” Nana menawarkan diri bersamaku.
            Aku hanya menganggukkan kepala seraya merapikan semua buku di atas meja. Aku sudah bertekad untuk tidak mencampuradukkan persoalan apapun ke dalam wilayah kurikulum kelas. Aku harus bisa mengontrol diri sendiri..
            Perjalanan ke rumah sakit tak membutuhkan waktu lama. Sepuluh menit dari sekolah sudah sampai di tempat parkir rumah sakit Mardi Waluyo. Teman-teman berjalan beriringan menyusuri koridor yang menghubungkan tempat lobi dengan kamar anggrek nomor dua. Sesekali terdengar canda dan tawa sebagai pelepas letih setelah seharian berkutat dengan bangku dan kursi di kelas.
            “Assalamu’alaikum” sapa Farhan pada seorang perempuan cantik. Sepertinya beliau belum terlalu tua. Bahkan dibandingkan dengan emakku kelihatan lebih muda ibu ini. Ah..jadi ingat dengan emak.
            Balasan lembut nan merdu terdengar dari perempuan paruh baya itu. “Wa’alaikumsalam. Teman sekolah Andi?”
            “Iya, bu” jawab kami bersamaan.
            “Masuk saja, sudah sadar kok. Tadi malam sadarnya,  hari ini sudah diperbolehkan untuk dijenguk.” Cerita si ibu. Terlihat roman mukanya yang kecapekan.
            Kami hanya tersenyum dan mengangguk, serta melangkahkan kaki menuju kamar tempat Andi dirawat.
            “Assalamua’alaikum”
            “Waalaikum salam, hai…”balas Andi sambil menunjukkan sedikit gigi putihnya.
            “Gimana kondisimu Ndi?” Tanya Farhan.
            “Sudah lebih baik sih, tapi kaki dan tanganku masih lemas. Tinggal mengembalikan tenaga ja kok. Temen-temen pa kabarnya?” balas Andi.
            “Alhamdulillah baik, kamu ditunggu temen-temen buat melaksanakan rencana kemarin lho..” ujar Risa.
            Suasana semakin mencair. Ketegangan antara aku dan Andi yang terjadi di kamar putih ini semakin lama semakin berkurang meskipun aku tak pernah menimpali semua ucapannya. Kebisuan telah menjadi saksi bahwa sesungguhnya di dalam lubuk hatiku tersimpan rasa kemanusiaan yang tinggi. Dengan pengemis saja aku bisa kasihan, apalagi dengan dia temanku sendiri, batinku.
            Aku terperanjat saat ku tatap foto sepedaku terpampang di samping tempat tidurnya. Aku tak bisa menyembunyikan rasa keterkejutanku, hingga mulutku membentuk huruf O besar. Nana yang melihat aku bengong langsung menginjak kaki kiriku yang berada di sebelahnya.
            “Sory, Din, aku nggak minta izin kamu untuk memotret sepeda, ya..karena aku takut aja kamu pasti nggak bakal memberi izin. Iya kan?” ucap Andi sambil melihatku.
            “I…iya nggak pa-pa.” balasku.
            “Tumben kamu baik ma aku, Din. Biasanya juga langsung konser he…..he…….”
            “Oh..jadi nggak mau nih aku baik. Mau aku tonjok!!”
            “ya nggaklah, mentang-mentang jago karate, trus mau nonjok aku yang sudah terkapar nih…,tapi nggak pa-pa deh, toh keluargaku tak da yang peduli lagi kok” balas Andi.
            “Cemen lho…semua orang tu pasti punya masalah, nggak da Ndi  orang yang nggak pernah ada masalah, justru dari sini kita bisa belajar banyak. Ibarat permainan sepak bola kita harus mencetak gol disertai bermain yang bagus, dan yang harus kita ingat ada yang masuk dan ada yang keluar.”
            “Ya bu guru kami sudah mengerti” ungkap Andi disertai tawa dari teman-teman yang ikut menjenguk.” Jadi kita baikan nih??”
            “Dari dulu aku kan baik he…he…”balasku nyengir.
            “Din, kamu tahu nggak kenapa aku ngefans banget ma sepedamu?” Tanya Andi.
            Dengan mantap aku jawab, “aku tidak tahu sama sekali, percaya deh, sepeda tu sudah amat membuatku bosan.”
            “Din, aku saluut banget ma sepedamu, setiap hari mengantarmu dari rumah ke sekolah, trus beralih menuju kegiatan lain. Tahu nggak? Sepedamu itu telah memberi inspirasi terbesar dalam hidupku. Berkali-kali aku jatuh tersungkur, aku bisa bangkit lagi karena aku melihat semangatmu bersama sepedamu itu. Andaikan sepeda itu bisa bicara mungkin ia akan berkisah tentang kamu, kegiatan kamu, sodara-sodara kamu, keluargamu yang utuh, dan banyak hal. Aku selalu iri saat melihatmu bisa santai naik sepeda tapi tetap prestasi tertinggi. Aku dengan seabrek les dan lain sebagainya tetap nomor akhir. Dari SMP hingga SMA aku tetap tak bisa mengalahkanmu dalam segala hal. Bahkan keluargakupun tak pernah bisa diharapkan lagi. Kamu benar-benar beruntung, sungguh banyak hal yang membuat aku ingin lari.”
            Kami semua terdiam mendengarkan Andi berbicara. Hanya sesekali kami menimpalinya. Hari yang semakin siang mengantarkanku merenungi banyak hal. Tentang diriku, tentang Andi, tentang teman-teman sekaligus tentang sepedaku.
            “Teman-teman, makasih atas kepedulianmu. Semoga ini tak sia-sia.” Ujar Andi.
            “Semua ini akan lebih sia-sia lagi jika setelah keluar dari sini, kamu minum obat nyamuk lagi, sekaligus selamat tinggal. Beruntunglah hari ini karna masih banyak yang peduli.” Balas Farhan yang diiyakan teman-teman.
            Kebersamaan itu menciptakan banyak hal, diantaranya kekuatan. Hal itu yang ku lihat dari binar mata Andi, teman-teman sekaligus aku sendiri. Aku berjanji aku tak akan melupakan kenangan-kenangan yang terukir indah selama di sekolah. Benar kata pepatah, masa-masa paling indah, masa-masa di sekolah.
            “Maaf ya Ndi, kami harus pulang. Insya Allah kalo da waktu senggang ke sini lagi.” Pamit Farhan.
            “Jangan ke sini, Han. Kapok aku. Gini aja ya Ndi, besok kita ketemu di sekolah.” Ucapku.
            Semua terbengong-bengong dan langsung disertai tawa yang renyah. Tak ada lagi perbedaan diantara kita. Ternyata kita semua sama. Kami berpamitan kepada orang tuanya. Langkahku terasa ringan sekali. Perjalanan pulang diiringi dengan canda telah benar-benar menghancurkan karang yang bertengger di hatiku.
            “Din, kami semua sayang lho ma kamu. Jangan pernah menganggap kami berbeda ya?” ujar Risa saat kami berpisah menuju ke peraduan masing-masing.
            Aku tersenyum sambil mengangguk. Betapa bahagianya aku hari ini. Ku kayuh sepeda renta ini perlahan-lahan namun pasti. Mentari cerah tak menyisakan mendung sedikit pun, sama seperti hatiku. Ternyata semua prasangkaku itu salah besar. Sayup-sayup terdengar lagu merdu dari rumah warga yang ku lewati…………
            Syukuri apa yang ada
            Hidup adalah anugerah
            Tetap jalani hidup ini
            Melakukan yang terbaik….
           
            Kini aku benar-benar ada diantara mereka. Tak perlu ragu dan bimbang karena itu nyata. Sesekali aku bersenandung sambil mengenang semua yang terjadi. Aku harus terus berjuang mengapai mimpi. Membuat semua yang melihatku bangga. Dan aku tetap akan menjadi diri sendiri bukan orang lain. Dan satu hal yang harus aku ingat manusia tak kan mendahului takdir.
 By: lilik nuktihana

Stasiun Lempuyangan

Jika Blitar terbuat dari tetesan-tetesan darah para pejuang, maka Jogja tercipta dari sejuta kerinduan. Kerinduan pada keramahan...